"Kibarkanlah Bendera Tanpa Tiang"Kepergian pendiri Majelis Rasulullah Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa (40) pekan lalu tak hanya membuat keluarganya merasa kehilangan tapi juga ribuan umat yang kerap mendengarkan ceramahnya. Berikut curahan hati putra kedua sang habib, mewakili keluarganya.Minggu (15/9) lalu, lautan manusia pengikut Habib Munzir al Musawa tampak mengiringi kepergian sang ulama, dengan doa dan tangis ke tempat peristirahatan terakhir sang habib di TPU Habib Kuncung, Kalibata, Jakarta Selatan. Tak hanya ribuan pengikutnya yang hadir mengirim doa untuk sang habib, Presiden SBY pun menyempatkan diri menyambangi rumah duka dan menyampaikan rasa belasungkawa yang dalam kepada keluarga almarhum. Sayangnya, tampaknya banyak yang tak mengetahui bahwa habib yang amat dikenal dermawan ini seakan sudah mempersiapkan kepergian abadinya. Habib Munzir bahkan pernah mengungkapkan mimpinya dan menceritakan kepada jemaahnya, ia akan wafat pada usia 40 tahun. Dan, setahun terakhir ini ia juga telah mempersiapkan Muhammad Al- Musawa (12), putra keduanya, meneruskan jejak dan perjuangannya untuk terus membawa bendera Majelis Rasulullah agar tetap berkibar dan semakin besar. Ikhlas & Kuat Kedua putra Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa, yaitu Muhammad Al- Munsawa (12) dan Hasan Al-Munsawa (10), saat ditemui di rumah duka, Kompleks Liga Mas, Pancoran, Perdatam, Jakarta Selatan, bercerita, masih tak percaya sang ayah telah tiada, meninggalkan mereka. "Abi (ayah) memang sakit sejak lama, sering masuk dan keluar rumah sakit. Jadi hari Minggu itu rumah kami sedang ramai karena ada pengajian Majelis An Nisa Rasulullah. Saat itu saya dengar Umi bertanya ke asisten Abi, "Apakah Habib sedang pergi ke luar?" Tapi mobilnya ada dan sandalnya pun ada," tutur Muhammad.Namun ketika pintu kamar mandi diketuk, lanjut Muhammad, tak ada sahutan. "Akhirnya pintu didobrak dan Abi sudah tak sadarkan diri. Semua orang di rumah ini enggak punya feeling apa -apa, karena Abi memang pernah begitu juga sebelumnya dan langsung dibawa ke RS, tapi bisa pulang lagi ke rumah. Nah, yang hari Minggu itu Abi langsung dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Saya, Hasan, dan Umi menyusul. Abi langsung masuk ruang ICU. Setelah kami menunggu dua jam, pihak RS menyatakan Abi sudah meninggal dunia," papar Muhammad tegar.Ketika mendengar kabar itu, kata Muhammad, adiknya Hasan sempat menangis. Namun ia bersama Uminya memberikan pengertian dan menguatkan sang adik. "Saya mengatakan kepadanya, seberapa banyak air mata yang kau keluarkan tidak akan bisa menghidupkan lagi Abi," ujarnya bijaksana. Menurut Muhammad, uminya juga terus menguatkan dan meminta kedua putranya untuk berlapang dada dan mendoakan abinya, sebab memang sudah waktunya ia pergi. "Semua harus ikhlas dan kuat, terutama ketika Abi dimakamkan. Alhamdulillah sayalah yang mengazankan beliau," sahut Muhammad. Sayangnya, kata Muhammad, kakak tertuanya Fatimah Al-Munsawa tak bisa menghadiri pemakaman ayahnya lantaran masih melanjutkan studi di Darulmustafa Hadramaut, Yaman. "Ya, kakak saya masih belajar di sana tapi dia juga kuat dan sempat berkirim SMS ke sekretaris Abi. Kata Kakak di SMS-nya, 'Aku memang tak bisa hidup tanpa abi, tapi aku akan bertahan untuknya.'," tutur Muhammad menirukan pesan yang dikirim sang kakak dari negeri jauh dengan nada pelan.Kakak beradik yang masih berusia belia ini pun lantas mengungkapkan, hingga akhir pekan lalu masih merasa bahwa ayahnya masih berada di dalam rumah dan sedang beristirahat. "Biasanya kalau ada mobil beliau di rumah, semua orang enggak berisik karena Abi biasanya sedang istirahat. Ya, sampai sekarang rasanya masih seperti ada saja,"sahut Muhammad sambil memandang adiknya, Hasan. Selalu Berkata Lembut Bagi Muhammad dan Hasan, sang ayah di mata mereka adalah sosok ayah yang banyak memberikan banyak teladan. "Kalau bicara, Abi susah dibedakan kapan serius dan bercanda. Tapi bercandanya selalu bermanfaat dan sudah pasti menceritakan kisah sahabat Rasul SAW. Abi juga pernah marah, tapi hatinya murah, lembut. Kalau marah pada detik itu, maka pada detik itu juga Abi memaafkan," papar Muhammad yang selalu diangguki oleh sang adik.Hasan lantas mengaku ia segan dan takut kepada ayahnya lantaran tahu, sang ayah tak pernah menegurnya dengan bahasa yang keras. "Abi, kalau menegur enggak seperti orang-orang lain. Bicaranya santai tapi kena di hati. Saya sering diberi pesan untuk enggak malas belajar. Setiap selesai salat subuh Abi selalu mengecek kamar untuk melihat apakah saya belajar atau tidak," ucap Hasan dengan wajah polos.Muhammad menambahkan, ia pun pernah ditegur ayahnya lantaran terlihat mengantuk saat saatmenjalankan salat subuh. "Soalnya, ketika itu saya tidurnya kemalaman. Jadi pas waktunya salat subuh dan doa qunut, saya kurang keras menjawab "Amin". Akhirnya, selesai salat Abi menegur saya. Besoknya saya enggak berani tidur malam-malam lagi," sahutnya.Kedua anak lelaki Habib Munzir Al-Musawa ini pun mengakui, mereka akan sangat merindukan sosok sang ayah tercinta di masa-masa mendatang. "Kebiasaan kami, kan, selalu bersama Abi. Terutama setiap salat subuh kami selalu berjamaah dilanjutkan dengan mendengarkan Abi membaca kitab," jelas Muhammad. Ikuti Jejak AbiYang paling terkenang oleh Muhammad, sejak kecil ia sudah bercita-cita ingin mengikuti jejak sang ayah melakukan tausiyah dan berjuang di jalan Allah. "Sejak kecil saya, kan, sudah sering dengar ceramahnya Abi. Abi itu semangatnya tinggi, meskipun sakit enggak pernah jadi halangan Abi untuk berceramah. Pernah Abi ceramah pakai kursi roda, pakai selang oksigen, atau bahkan datang ke hadapan majelis menggunakan kasur dari rumah sakit. Tapi Abi tetap saja ceramah," tutur Muhammad bangga.Setahun yang lalu, menurut Muhammad, ayahnya mulai mengizinkannya untuk mengisi salah satu kegiatan tausiyah yang dihadiri oleh 20 ribu jemaah untuk menggantikan sang ayah yang kala itu tengah berada di Rumah Sakit. "Sejak kecil saya memang sudah mempelajari apa yang Abi lakukan, dibantu Umi. Ketika itu Abi memang sedang sakit, sehingga saya yang diminta untuk mengisi tausiyah. Alhamdulillah sejak itu, mulai setahun belakangan ini saya mulai rajin bertausiyah," ungkapnya.Pesan yang kerap diucapkan sang ayah semasa hidupnya kepada Muhammad adalah meminta agar majelis yang didirikannya tidak berhenti, meski beliau sudah tiada. "Pesan yang paling sering beliau katakan adalah, "Kibarkanlah bendera tanpa tiang." Nah, setelah beliau enggak ada, saya jadi ingat lagi pesan itu. Ternyata inilah maksud dan keinginan beliau. Insya allah semua bisa terlaksana," harap Muhammad.Diakui oleh Muhammad, ia juga termotivasi oleh sang ayah yang sangat mengidolakan Nabi Muhammad SAW dan mencontoh semua teladanya. "Cara Abi duduk, bicara, makan, semua itu teladan dari Rasul. Jadi saya dan Hasan ingin bisa seperti Abi," sahutnya.Sebagai pemberi tausiyah, Muhammad tentu juga berkeinginan mempelajari lebih jauh mengenai hadis. "Saya ingat salah satu hadis yang sering Abi ucapkan. Begini hadistnya, 'Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang suka berselisih," katanya lantang.Selama bertausiyah atau berceramah, Muhammad merasa, gaya berceramahnya hampir sama dengan ayahnya. Ia tak suka menyampaikan ceramah dengan bahasa yang berat, melainkan menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dicerna jemaah. "Abi, kalau sedang menjelaskan sesuatu pasti mudah sekali dicerna. Jadi saya akan mencontoh cara Abi saja. Saya masih terus belajar, Hasan juga belajar. Yang pasti, kami semua ingin meneruskan jejak Abi," tandasnya.Muhammad sudah sering mengisi tausiyah menggantikan tugas sang Abi yang telah tiada.Di hari ketika sang habib tiada, para pengikut dan jemaahnya mengantarkan Habib Munzir sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya.Muhammad (kiri) dan Hasan (kanan) sepakat untuk selalu kompak dalam meneruskan dan membesarkan Majelis Rasulullah pimpinan sang Abi."Kami pasti akan sangat merindukan Abi dan bercandaan Abi yang justru malah sering terdengar serius," kata Muhammad mewakili adiknya, Hasan.Fenomena banyaknya pemuka agama berusia muda namun memiliki ribuan pengikut bahkan fanatik, dicermati oleh pakar sosiolog dari UIN Syarif Hidayatullah, Musni Umar. Menurut Musni, kini masyarakat tengah mengalami banyak perubahan, khususnya krisis penokohan dan krisis identitas. "Masyarakat sesungguhnya kehilangan idola dan panutan, jadi akhirnya ketika muncul tokoh yang muda-muda, independen, energik dan mendapatkan sorotan dari media, menjadikan mereka perhatian yang lebih. Apalagi masyarakat cenderung menganggap, yang muda-muda ini relatif tak punya banyak kesalahan daripada tokoh tua yang lama sudah mereka kenal." Itu sebabnya, lanjut Musni, banyak pengikut yang langsung percaya dan jadi tidak irasional terhadap penokohan sang idola. Sebaliknya, yang harus ditekankan oleh para pemuka agama berusia muda yang sudah terlanjur mendapatkan kepercayaan dari masyarakat ini, lanjut Musni, tak bisa hanya mengandalkan karisma dalam diri saja. "Seiring berjalannya waktu, masyarakat semakin kritis. Maka kelayakan dari seorang tokoh juga akan menjadi penting. Sehingga tak hanya soal penokohan saja agar kepercayaan masyarakat tidak hilang," jelasnya.Musni mencontohkan nama besar Buya Hamka yang tak lekang oleh waktu dan masih dikenang hingga kini. Padahal, lanjutnya, pada masanya Buya Hamka pun belajar soal agama secara otodidak dibarengi dengan upaya untuk terus menunjukkan kualitas dan karismanya, sehingga tetap bertahta di hati masyarakat. "Seperti halnya apabila anak Habib Munzir Al-Musawa didapuk untuk meneruskan perjuangan ayahnya, sama seperti anak ustaz seribu umat KH Zainudin MZ, maka mereka harus terus belajar dan tak hanya bisa mengandalkan nama besar sang ayah saja, agar kepercayaan masyarakat dan pengikutnya tidak luntur," tegasnya.Di masa sekarang , imbuh Musni, masyarakat sudah lebih kritis. Sehingga apabila tokoh agama ini bisa lebih menjaga diri, kehormatan, serta kualitas diri, maka tidak mustahil akan dapat terus dipercaya oleh para pengikutnya. "Yang jelas, mereka juga manusia. Sehingga masyarakat harus rasional untuk tidak mendewakan. Mereka bukan malaikat, jadi pasti memiliki kekeliruan dan tak luput dari kesalahan," pungkasnya.Swita A. Hapsari