Alergi protein susu sapi dapat bermanifestasi pada beberapa sistem organ terutama tiga organ penting, yaitu kulit, saluran cerna dan pernafasan. Gejala alergi protein susu sapi terbesar terlihat pada kulit bayi. Sebanyak 50%-70% bayi menunjukan gejala dermatitis atopic, bengkak pada bibir atau kelopak mata (angio-eodema); urtikaria yang tidak berhubungan dengan infeksi akut, konsumsi obat atau penyebab lainnya ketika mengalami alergi protein susu sapi.
Selain itu, 50%-60% bayi mengalami gangguan saluran cerna dengan gejala sering regurgirtasi (gumoh), muntah, diare, konstipasi (dengan/tanpa ruam perianal), darah dalam feses, dan anemia defisiensi besi. Bentuk lain manifestasi alergi protein susu sapi adalah terganggunya sistem pernafasan bayi, sebanyak 20% - 30% bayi mengalami gangguan pernafasan seperti batuk, pilek, dan mengi.
Insiden yang relatif tinggi ini dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas usus terhadap molekul besar, atau sistem imunitas bayi yang belum matang (imatur). Menghindari konsumsi protein susu sapi merupakan cara termudah untuk menghadapi alergi susu sapi.
Berdasarkan rekomendasi IDAI, ESPGHAN, dan pedoman AAP Cow's Milk Protein Allergy, bayi dengan alergi susu sapi dan bayi yang tidak mendapatkan ASI, sebaiknya mendapatkan formula hipoalergenik atau formula protein terhidrolisis secara ekstensif atau Formula Asam Amino untuk mengurangi alergi protein susu sapi pada bayi yang mengonsumsi susu formula. Melalui tes preklinis yang memadai, diketahui bahwa formula hipoalergenik tidak memicu timbulnya reaksi pada >=90% bayi dan anak dengan alergi susu sapi yang terkonfirmasi melalui 95% tingkat confidence ketika diberikan secara prospektif, metode double blind acak, ataupun uji control plasebo.
Ade Ryani