Cita-citanya Daut ingin masuk STIP (Sekolah Tinggi Pelayaran, red). Tentu terbentur biaya. Sudjewo Tedjo yang kerap mengkritisi kehidupan sosial ini, hanya bisa menarik napas. Gestuer tubuh dan mimieknya di film ini mewakili banyak bicaranya dari seniman satu ini, bahwa ia protes pada dunia pendidikan yang begitu mahal, ia seperti menyesal ditakdirkan jadi ayah miskin, ia juga cenderung ngotot untuk anaknya dapat mengenyam pendidikan tinggi. Namun, apa daya, kemampuan finansialnya sangat amat terbatas. Demi Anissa, Daut pun ambil jalur biasiswa, muaranya, ia berhasil.
Perseteruan tentang berkutatnya perasaan cinta Daut, Gilang pada Anissa, memberikan gambaran, bahwa cinta adalah cinta. Cinta bukan sahabat atau persahabatan. Untuk cinta, seseorang bisa saja melakukan hal-hal yang tak biasa mereka lakukan. Akan tetapi, cinta yang didasari dari sebuah persahabatan, tentunya ada pakem-pakem yang naïf untuk dilanggar diantara mereka. Setidaknya, begitulah yang dituangkan dalam film ini.
Tersirat, hubungan cinta Daut,Gilang pada Anissa terasa aneh. Kok, bisanya satu perempuan, bisa 'menerima' dua lelaki dalam waktu nyaris bersamaan untuk datang ke hatinya demi cinta para lelaki tersebut pada dirinya. Itulah film Sampai Ujung Dunia. Seolah sang perempuan tersebut tak bisa menolak, karena tak mampu mengelaknya, lantaran kedua pria tersebut sahabat dari kecil. Maka, terjadilah improvisasai, seperti 'apel' bergiliran.
Lagi-lagi di sinilah kekuatan sang sutradara menyuguhkan cerita dalam bentuk visual yang menguras emosi penontonyan. Karena pertimbangan kultur pula, mana mungkin seorang wanita semisal Anissa mampu mengungkapkan terlebih dahulu pada salah satu teman prianya itu. Seolah di sini, Anissa menunggu mujizat dari langit, kelak pilihannya jatuh ke Daut atau ke Gilang, biarkan air yang mengalir bicara, bukan hati yang dipaksakan atau terpaksa, bicara. Memang, dalam kenyataan di film ini, pengemasan cinta segitiga tersebut diolah seolah tak ada yang dipaksakan untuk bicara pada sosok yang dicintainya itu, Anissa sendiri seolah menunggu, biar waktu yang menjawab.
Scen film ini diakhiri oleh pertemuan antara Daut dan Gilang saat mengahdap ibunda Anissa yang diperankan oleh Chintami Atmanagara di Belanda. Dua lelaki yang sukses dalam dunia pendidikan dan finansial ini, menghadap untuk bisa menjadi pelindung Anissa di masa depannya, sebagai suami.
Cara sutradara mengungkapkan cinta Daut dan Gilang pada Anissa ini cukup membuat berdecak kagum. Tak mungkin hubungan aneh ini mampu mereka pertahankan selama-lamanya. Sementara, sikap ingin saling memiliki sudah begitu kuat di hati Daut dan Gilang. Sikap Anissa di sini hanya menunggu keajaiban saja. Anisa tak mampu juga untuk meninggalkan Daut, jika kelak ia menjadi istri dari Gilang. Begitu juga sebaliknya. Yang nelangsa, hati retak, harus ada yang mengalah dengan bijak. Di sini lah visual bicara untuk penontonnya.M.Nizar