Agar mahir melakukan pole dance dibutuhkan latihan intensif dalam hitungan bulan hingga tahunan. Bagaimana jika tak punya basic olahraga atau tubuh lentur bak penari atau pesenam? "Siapa pun bisa, kok, tak ada batasan umur dan berat badan kecuali penderita skoliosis, ya." Dan yang terpenting, "Harus tekun latihan sambil berolahraga yang lain juga."
Murid Junko terentang dari usia 20-40 tahun dengan beragam profesi. Ada anak kuliahan, artis, dokter, pilot, ekspatriat, hingga ibu rumah tangga. Saat ini jumlahnya ada 30 orang dan terus bertambah. Motivasi mereka ikut pole dance kebanyakan untuk berolahraga, "Juga ingin lebih pede dan seksi. Ada yang sekali coba menyerah, ada yang lanjut terus. Muridku juga ada yang ikut pole dance untuk menambah keharmonisan rumah tangga dengan memberi kejutan ke suaminya."
Manfaat lain yang didapat tentu saja seluruh bagian tubuh menjadi kencang, lentur, dan stamina tambah kuat. "Tubuh makin mudah diangkat karena makin ringan, postur tubuh dan berjalan juga jadi lebih tegap."
Bongkar Pasang
Alat utama dalam pole dance tentul saja sebuah tiang kokoh yang dapat menahan berat badan sang penari. Tingginya berkisar 2 hingga 5 meter. "Untuk orang Asia paling nyaman ukuran 4 meter, kekuatan dan tingginya pas," saran Junko.
Adapun perbedaan diameter tiang untuk orang Asia (4-5 cm) dan Eropa atau Amerika (6-7 cm) karena ukuran tangan yang lebih besar. "Memasangnya harus tepat agar aman, nyaman, dan tak terjadi cedera otot." Sedangkan bagian bawah (panggung) yang berbentuk lingkaran lazimnya terbuat dari plat baja berbobot 90 kilogram. "Saya pakai buatan Amerika dengan bahan chrome stainless anti karat yang bisa dibongkar pasang sendiri."
Tiang juga bisa dikunci sesuai kebutuhan, baik sebagai tiang statis (diam) maupun tiang spinning (berputar). "Dalam pole dance harus bisa mengontrol tiang dengan cara genggam yang benar agar berputar dan mendarat dengan hati-hati sebelum tiang berhenti berputar."
Kekuatan jari tangan juga jadi faktor terpenting dalam menggenggam, menahan, mengontrol, sekaligus menahan kuncian kaki pada tiang, "Jadi, jangan kaget kalau di telapak tangan timbul kapalan karena jari terus-menerus bergesekan dengan tiang," tukas Junko.
Selain itu, bukan tanpa alasan jika saat melakukan pole dance penari atau atlet mayoritas memakai baju yang terkesan minim dan seksi. Alasannya, "Kulit badan harus melekat dan 'mengunci' tiang. Jika bahan bajunya licin, tidak menyerap keringat atau tidak pas, penari bisa jatuh karena kulit badannya tidak menempel."
Apalagi selama melakukan pole dance keringat kerap melumuri permukaan tiang sehingga harus terus dilap. Dan bagi mereka yang tangannya mudah berkeringat, "Gunakan bubuk kapur di telapak tangan. Sebelum berlatih, jangan pakai lotion. Bagi pemula belajarlah tanpa alas kaki. Jika sudah pintar, baru bisa bergaya dengan high heels."
Kini Junko terus mempopulerkan pole dance ke pusat-pusat kebugaran agar semakin memasyarakat. "Jangan lagi dicap tarian erotis ala klub malam. Semua tergantung si individu teknik tarian mau dibawa untuk kesehatan atau performing art."
Ia juga berujar, sebenarnya penggemar pole dance di Jakarta cukup banyak tapi tak terlihat. Ia pun berencana membuka studio dan membentuk komunitas, "Kalau muridnya makin banyak, bisa jadi cabang olahraga. Bahkan anak-anak juga bisa ikut berlatih, namanya polini (pole dance usia dini)," kata pria yang sudah 15 tahun menggeluti dunia tari.
Gerakan polini tentu berbeda karena lebih banyak berupa senam, akrobatik, dan risiko memar lebih minim karena tulang anak-anak masih muda. Lantas, berapa biaya yang diperlukan untuk mengikuti kursus pole dance? "Tergantung intensitas latihan, dari 1-10 kali sesi latihan dengan biaya berkisar Rp500 ribu hingga Rp1,8 juta," tukas pria satu anak ini.
Ade RyanI HMK