Begitu getolnya, Sapardi tak ketinggalan selalu membeli komik-komik baru. Bahkan, ia rela menunggu dan antre untuk mendapatkan komik terbitan baru. Lama-kelamaan, "Koleksi komik saya makin banyak. Saya sampai membuka persewaan komik. Tak terasa, komik sudah menjadi bagian masa kecil saya," tuturnya.
Sampai suatu ketika, tutur Sapardi, sebuah komik baru saja terbit. Sapardi pun ingin segera baca. Di saat yang sama, sang adik yang juga lelaki, juga ingin segera membaca komik itu. "Kami rebutan untuk baca komik duluan. Tidak ada yang mengalah. Karena sama-sama ingin menang, akhirnya komik itu dirobek dibagi dua. Kami masing-masing pegang komik bagian depan dan bagian tamat."
Rupanya, ribut-ribut itu diketahui ayahnya. Mengetahui ihwal pertengkaran gara-gara komik, Sapardi dan adiknya harus menelan pil pahit. Rupanya, sang ayahanda marah. "Ayah melarang kami untuk membuka persewaan komik dan membacanya. Tentu saja saya kecewa dan sedih," tutur guru besar UI ini.
Sekian lama Sapardi tak bersentuhan dengan komik. Ingatan tentang komik kembali hadir ketika ia kuliah di Fakultas Sastra UGM. Kala itu, ia diminta untuk membahas tentang kisah Mahabharata. "Saya dan teman-teman mahasiswa menemukannya di komik RA Kosasih. Saya pun berpendapat, komik bisa berfungsi untuk pendidikan."
Henry