Kesedihan Nasan bertambah kala mengingat biaya yang harus ditanggung adiknya, bila Jamkesmas tak mampu mengcover biaya rumah sakit. "Saya sih, tidak bisa baca-tulis ya. Tapi ini saya bawa surat dari RT sampai Kabupaten. Saya berharap semua biaya ditanggung Kabupaten-lah. Tahu sendiri kan, adik saya cuma buruh tani, mana harus menanggung hidup cucu-cucunya. Rumah adik saya digoyang sedikit saja sudah runtuh."
Meski obrlan kami pelan, tetap saja membangunkan Masdi. Pria ini lalu menceritakan keburukan perangai menantunya. "Dia jadi berubah setelah punya dua anak. Pernah pisah lalu rujuk, dan pisah lagi. Sekarang mau minta rujuk lagi, tapi anak saya tidak mau karena sudah berulangkali menyakiti dan dipaksa berhenti kerja dari pabrik. Waktu Ida dibakar, saya sedang tidur di bale-bale depan rumah. waktu dia lari, saya sempat ikut memadamkan api. Lihat ini jari-jari tangan saya melepuh karena ikut terbakar," terang Masdi.
Ketika Nasan dan Masdi tengah berbincang dengan NOVA, dokter yang merawat memanggil keduanya di ruang dokter. Beberapa menit kemudian, keduanya keluar dengan wajah penuh duka. Bahkan Masdi langsung terduduk di lantai ruang tunggu. Mulutnya komat-kamit sembari mengangkat kedua belah telapak tangannya. Raut wajah Nasan juga menahan tangis duka. "Dokter bilang, saya harus memanggil keluarga mumpung Ida masih ada napas. Kondisi Ida sangat kritis. Diperkirakan kalau tidak hari ini (Jumat,4/4) ya besok, Ida tidak bisa bertahan," kata Nasan yang kemudian sibuk menelepon beberapa keponakannya. NOVA yang sempat masuk ke ruang IGD sempat melihat kondisi Ida yang tak berdaya.
Tak kurang sejam kemudian, Nasan dan Masdi masuk ke IGD karena Tuhan benar-benar memanggil Ida ke alam keabadian. "Ida meninggal. Dia sudah tidak bisa bertahan," tutur Nasan. Sebelum dimakamkan di dekat rumahnya, Ida sempat diotopsi di RSCM. Ibu 4 anak (1 dari perkawinan dengan suami pertama) itu tak bisa lagi mengelus buah hati yang begitu ia cintai. Selamat jalan Mpok Ida.
Rini