Heboh Kasus Mutilasi (2)

By nova.id, Senin, 11 Maret 2013 | 02:51 WIB
Heboh Kasus Mutilasi 2 (nova.id)

Heboh Kasus Mutilasi 2 (nova.id)
Heboh Kasus Mutilasi 2 (nova.id)

"Angkot ini yang digunakan Imp untuk beraksi. (Foto: Hasuna / NOVA) "

Mutilasi, Akhir Esktrem Rangkaian KDRT

Dalam kasus mutilasi yang dilakukan Imp kepada istrinya, krimilonog dari Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, menilai, hal ini tak semata akibat kondisi kejiwaan, tapi lebih kepada pilihan rasional yang dianggap cara termudah dan cepat untuk dilakukan. "Dia memutilasi korban karena sifat instrumental tadi," ujar dosen di Departemen Kriminologi UI ini. Lebih lanjut, mutilasi dilakukan berdasarkan logika sederhana pelaku untuk membuang tubuh yang dianggap besar.

"Kalau dikubur, mau dilakukan di mana? Karena lingkungan tempat tinggalnya tidak kondusif. Cara paling praktis, ya, dipotong-potong dan dibuang terpisah untuk menghilangkan jejak kejahatan." Jalan tol jadi pilihan karena dianggap kurang terawasi sehingga identitas korban dan pelaku akan sulit diketahui.

Imp juga diduga sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada korban, istrinya. Namun apa sebab ia sampai hati tega memutilasi istrinya, "Ini soal cara pandang suami terhadap istri. Pelaku menganggap rendah korban sebagai perempuan dan bisa diperlakukan sesukanya." Maka, lanjutnya, ketika mereka cekcok akibat tuduhan perselingkuhan, "Suami berpikir defensif. Dia melakukan kekerasan untuk menghentikan pertengkaran hingga mutilasi jadi ujung serial KDRT yang dilakukan."

Hal ini tak bisa lepas dari kultur masyarakat dimana sejumlah pasangan kerap menganggap posisi perempuan berada di bawahnya. KDRT yang kerap dilakukan Imp berakar dari pandangan terhadap sang istri semasa hidup hingga tewas, termasuk ketika Imp tetap beraktivitas normal setelah memutilasi istrinya. Peran Tn, perempuan simpanan yang membantu Imp membuang potongan tubuh, lanjutnya, meski termasuk perempuan yang melakukan kejahatan, tentu tak bisa dilepaskan dari dominasi Imp dalam relasi mereka berdua.

Dari berbagai kasus mutilasi yang ada, jika sifatnya spontan atau instrumental, tak perlu kepintaran khusus untuk meniru aksi kejahatan ini. Namun makin tinggi tingkat edukasi dan luasnya cara pandang seseorang terhadap kepentingan keluarga dan relasi gender, ia akan lebih arif menyikapi tiap masalah termasuk soal rumah tangga.

Iqrak menyayangkan, masyarakat terutama kelas bawah, masih pasif terhadap keinginan mereka untuk melaporkan KDRT yang bisa berakhir tragis seperti mutilasi ini. "Persoalan domestik apalagi KDRT bikin masyarakat enggan ikut campur. Harusnya publik jangan membiarkan, tapi diubah pandangannya bahwa aksi ini bagian dari kejahatan yang harus dilaporkan, baik ke ketua RT atau kepolisian agar bisa ditindaklanjuti."

Hasuna Daylailatu, Ade Ryani