Seperti Bapak, Ri adalah anak yang pendiam. Di saat sakit pun ia tak pernah menceritakannya kepadaku. Memang, ada beberapa perubahan dalam diri Ri yang kurasakan sejak aku kembali dari RS pasca dioperasi tumor. Makin hari, prestasi belajar Ri makin menurun.
Bahkan dia tak sempat ikut ulangan umum karena keburu masuk ICU. Pernah kutanyakan kepadanya, kenapa nilai-nilai sekolahnya jadi turun. Katanya, di sekolah hawanya bikin mengantuk dan malas. Padahal, sebelumnya nilai-nilainya termasuk lumayan.
Begitu juga tiap kali ke kamar mandi, entah untuk buang air kecil atau mandi, celana dalamnya selalu dicucinya sendiri. Usai mencuci, barulah dia memintaku menjemurkannya. Itu sudah terjadi sebulan belakangan ini. Duh, aku jadi menyesal, kenapa saat itu tak kutanyakan soal perubahannya itu.
Tak hanya itu, tubuhnya pun tampak makin kurus 2-3 bulan ini. Semula, ia tampak gemuk dan sehat. Ri juga mengaku kepalanya sering pusing, lemas, dan hanya mau tiduran terus. Setiap aku minta tolong untuk dibelikan sesuatu ke warung, dia tampak enggan dan selalu minta kakaknya yang memembelikan.
Ke sekolah pun, jika tak ada temannya, Ri selalu minta aku untuk mengantarnya. Kebetulan jarak sekolahnya memang dekat dari rumah. Jadi, cukup berjalan kaki saja. Jika aku sedang tak bisa mengantar, dia menangis, entah kenapa. Tak biasanya ia seperti itu, seperti ada yang ditakutkan. Sayang, aku lupa menanyakannya.
Masih terbayang dalam ingatanku, wajah Ri yang cantik, rambutnya yang lebat sebahu, kulitnya yang putih seperti kakaknya. Ri juga amat peduli pada sekolahnya. Setiap aku beri uang bekal sekolah Rp 5.000, dia pasti akan minta tambah. "Mak, kurang uangnya, buat sumbangan ke sekolah." Ternyata, anakku mau menyisakan uangnya untuk menyumbang pembangunan sekolahnya.
Kini, harapanku agar polisi menemukan pelakunya sudah terlaksana. Aku sempat bilang, pelakunya harus ditangkap dan dihukum seberat mungkin. Tapi setelah tahu Bapak lah pelakunya, aku tak tahu lagi. Terserah Bapak mau diputus hakim berapa lama. Aku serahkan semua ke pihak yang berwenang saja.
Selama Bapak ditahan Polres Jakarta Timur, aku memang belum menjenguknya. Setiap ingat perbuatan Bapak, aku jadi benci sama Bapak. Aku tidak dendam, tapi aku kesal dengan perilakunya. Berpisah dengan Bapak? Aku belum tahu. Yang jelas, aku dan kakak-kakak Ri sangat menyesalkan tindakan Bapak. Keluarga pun melarang aku bicara terlalu banyak karena persoalan ini membuat keluarga kami pusing. Aku memilih pasrah saja.
Sedih, capek, dan lelah itulah yang kurasakan saat ini. Rasanya ingin sekali istirahat tapi tamu tak henti datang ke rumah. Apalagi setelah Bapak ditahan, polisi bolak-balik datang ke rumah untuk meminta keterangan.
Sebelumnya, tak sedikit pejabat yang datang ke rumah kontrakan kami, di kawasan Rawa Bebek, Cakung. Bapak Gubernur Jokowi, Ibu Menteri Linda Gumelar, perwakilan Depsos, semua mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya Ri. Tak hanya tamu yang terus berdatangan, sumbangan pun silih berganti datang. Aku yakin sumbangan yang terus mengalir tanpa henti ini berkat kebaikan anakku semasa hidupnya. Mungkin inilah balasan simpati untuk anakku.
Duh, Ri, padahal tak lama lagi anakku itu akan berulang tahun yang ke-11 April mendatang. Aku jadi ingat kertas bertuliskan tangan Ri yang ditemukan kakaknya. Ri ingin merayakan ulang tahunnya dan berencana mengundang teman-temannya ke rumah. Tapi rencana itu kini tinggal kenangan. Selamat jalan Ri, semoga engkau damai di sisi-Nya...
Noverita K. Waldan / bersambung