Senin (7/1) saat jarum jam sudah menunjuk angka 23.00, mata ini mulai terasa berat setelah merajut jala ikan. Sebelum tidur, saya sempat salat dan ketika terbangun sejam kemudian, saya bangunkan istri, Ngasimah (48), mengingatkannya untuk salat isya. Usai itu saya tertidur pulas.
Di tengah lelap tidur, saya terbangun mendengar jeritan Ngasimah dan langsung menuju arah suara. Suasana dapur amat gelap tapi saya masih bisa melihat bayangan istri yang membawa senter menyala. Tanpa pikir panjang, saya langsung memeluknya, sementara tangan kiri saya merebut senter dari tangannya. Tapi baru beberapa detik, senter itu terlempar dari tangan karena tiba-tiba terasa ada yang membacok tangan kiri saya.
Tasss... rasanya tangan saya seperti langsung patah. Pelukan saya pun terlepas. Dia jatuh dan saya lari ke ruang depan. Si pembacok itu mengejar dan mulai membacoki kepala dan wajah saya. Darah langsung mengucur deras. Saya pun roboh. Dengan kekuatan yang tersisa, saya berusaha bangkit sambil berteriak membangunkan anak kami, Dimas. "Dimas bangun! Mak'e mati! Ayo bangun!" seru saya. Saya berujar seperti itu karena mengira Ngasimah sudah tewas.
Anak saya yang masih kelas 2 SMA itu langsung bangun dan berusaha menyerang si pelaku yang memakai topeng. Khawatir Dimas bernasib sama dengan kami, saya lari keluar rumah mencari pertolongan. Sebelumnya, saya sempat menyalakan sakelar lampu ruang depan.
Sepupu Sendiri
Jarak rumah kami dengan tetangga depan rumah sekitar 50 meter. Saya terus berteriak minta tolong. Saat itu pun saya sudah lemas karena darah terus mengucur dari wajah dan tangan saya. Akhirnya, saya terduduk di samping rumah, di pinggir jalan. Baru sekitar 30 menit kemudian pertolongan datang. Para tetangga tak berani masuk rumah karena takut. Ketika akhirnya masuk, mereka melihat Dimas dan istri saya roboh bersimbah darah. Si pelaku melarikan diri, entah ke mana.
Belakangan saya tahu dari cerita Dimas, ketika saya berlari mencari pertolongan, Dimas terus melawan sambil berusaha membuka topeng yang dikenakan pelaku. Saya sendiri tidak tahu siapa pelakunya karena kondisi rumah gelap. Saya hanya sempat melihat dia mengenakan celana panjang abu-abu. Nah, sewaktu Dimas berhasil membuka topeng pelaku, Dimas terkejut karena ternyata saudara sepupunya sendiri yang bernama DK.
"Lho, kok, kamu mau bunuh Mamak saya?" tanya Dimas saat itu. DK menjawab, "Iya, sama kamu juga!" Itu sebabnya DK berulangkali membacok kepala Dimas dan terus mengejar Dimas yang berlari ke kamarnya.
Setelah situasi aman, tetangga membawa kami ke RS. Dimas dilarikan lebih dulu ke RS PKU Muhammdiyah, saya dan istri menyusul. Saya duduk di jok depan, sementara istri di jok belakang. Sepanjang perjalanan, Ngasimah masih mengucap istighfar tiga kali namun kemudian kondisinya makin lemah. Tak tega saya melihatnya. Keponakan saya yang ikut, Yuli, lalu membimbingnya mengucap Lhaillaha ilallah.
Sedihnya lagi, di tengah perjalanan, mobil yang kami tumpangi bannya meletus. Kami berganti mobil yang disopiri anak saya yang lain, Widi Asmoro. Apesnya, baru saja dia membawa kami, bensinnya habis. Saya kemudian dibawa dengan mobil polisi ke RSK Ngesti Waluyo, sementara istri tetap dilarikan ke RS PKU Muhammadiyah.
Sebelum berpisah mobil, dalam kegelapan malam itu saya melihat kondisi ibunya anak-anak sudah terkulai, tak bergerak lagi. Akibat terlalu lama di jalan, Ngasimah akhirnya mengembuskan napas di perjalanan. Demi cinta saya kepadanya, siangnya saya minta izin dokter untuk pulang ke rumah agar bisa menyalatkan istri dan mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya di TPU Desa Kalibanger.
Tiga Firasat
Meski terpukul, saya merasa lega karena tak sampai 24 jam polisi sudah bisa menangkap tersangka pelaku. DK mengakui perbuatannya dan kabarnya ia mengaku puas sudah membantai kami. Duh, kenapa keponakan sendiri tega berbuat demikian dan tak menyesalinya?
Perbuatan DK, menurut saya, sungguh tak masuk akal. Bagaimana tidak? Ia adalah anak dari adik kandung saya, Sudadi, yang kini tinggal di Sumatera. Sayalah yang merawat Sudadi sejak kecil sampai lulus SMA. Ketika adik saya hijrah ke Sumatera dan ingin DK bersekolah di Jawa, saya jugalah yang menjemputnya ke Sumatera, sejak ia berusia 5 tahun.
Sejak itu, DK tinggal bersama kami, tidur sekamar dengan Dimas. Namun karena DK punya penyakit congek di telinganya, Dimas menjauhi DK. Dimas tak tahan bau cairan yang keluar dari telinga DK. Saya dan istri lalu mengobatinya hingga sembuh.
Berhubung kami punya tiga anak, setelah beranjak besar DK saya titipkan ke adik saya yang lain, yang tingal di rumah ayah kami yang sudah sepuh. Jaraknya sekitar 150 meter dari rumah kami. Maksud saya, agar perkembangan DK bisa tetap dipantau dengan mudah. Untuk kebutuhan hidup dan sekolahnya, tetap saya yang membiayai.
Selama ini hubungan saya, istri, dan anak-anak dengan DK baik-baik saja. Tapi memang, ada beberapa kejadian aneh beberapa hari sebelumnya. Tanggal 1 Desembar 2012 lalu, Dimas kehilangan laptop di kamarnya. Kami tak berani menduga-duga siapa pencurinya. Lalu, tanggal 20 Desember, motor Dimas dibakar entah oleh siapa.
Ketiga, pintu rumah bagian belakang terbuka tanpa ada bekas congkelan. Namun tak ada barang yang hilang. Anehnya, sebatang rokok lintingan saya yang diletakkan di meja tengah, berpindah ke meja belakang. Dugaan saya, rumah ini pasti hendak dibakar oleh seseorang tapi dia tak menemukan korek. Jadi, puntung rokok hanya dipindahkan saja ke meja belakang.
Semua kejadian itu membuat istri saya tak tenang. Entah apa sebabnya, ia memutuskan mengumpulkan surat-surat penting keluarga kemudian dimasukkn ke kantong plastik, lalu disimpannya di rumah anak sulung kami. Ia juga berpesan, "Andai Gusti Allah menghendaki saya dibunuh orang, diikhlaskan saja."
Sejak itu, saya terus minta perlindungan Allah. Saya tak menanggapi omongan istri melainkan menambah kewaspadaan. Nahasnya, musibah tetap menimpa keluarga kami. Tapi bagi saya, ini sudah kehendak Allah.
Saya dan Dimas sudah keluar dari RS meski masih perlu rawat jalan. Ada urat di tangan kiri saya yang putus. Bola mata saya yang terkena bacokan pun masih terasa sakit luar biasa. Kepala juga masih sering pusing akibat luka dan darah yang banyak keluar. Dimas yang terluka parah juga masih trauma setiap kali ada orang bercerita tentang peristiwa malam itu. Kasihan dia. Dua jari tangannya putus, kepala, dan telinganya dibacok beberapa kali.
Kejadian ini sesungguhnya tak termaafkan, namun saya sudah memaafkan DK. Ini kehendak Allah semata. Saya juga tak dendam. Tapi soal hukum, tetap harus ditegakkan. Seberapa berat hukumannya nanti, saya tak mau tahu. Saya juga sudah mengabari orangtuanya yang tinggal di Sumatera. Tentu saja mereka sedih dan menyesali perbuatan anaknya. Tapi, toh, nasi sudah menjadi bubur...
Rini Sulistyati / bersambung