Menurut Ibu Kembar, demikian Sri Irianingsih (Rian) dan Sri Rossiati (Rossi) sering disapa, pendiri Sekolah Kartini yang mengusung misi sebagai sekolah ketrampilan ini, pihaknya saat ini masih menunggu surat relokasi dari PT KAI yang mempunyai lahan yang kini ditempati sekolah darurat ini. "Sebelum ada surat itu, kami tidak akan pindah," jelas Rian.
Pihak PT KAI terpaksa menggusur sekolah yang kini mempunyai murid sekitar 815 siswa ini karena gedung sekolah tersebut berdiri di pinggir rel di Kompleks Pegudangan KAI. Padahal, menurut aturan, tidak boleh ada bangunan sepanjang rel kereta api.
Saat ini pihak sudah ada kesepakatan dengan pihak KAI. "Mereka sudah menyiapkan lahan yang tak jauh dari sini. Hanya saja ukurannya lebih kecil. Enggak tahu apakah nanti bangunan bisa cukup untuk menampung para siswa," sela Rossi.
Sekolah Darurat Kartini mempunyai kelas dari PAUD, TK, SD, SMP, Hingga SMA. Para siswa adalah anak-anak warga sekitar yang rata-rata tinggal bersama orangtuanya di gubuk-gubuk darurat. Sejak didirikan tahun 1990, sekolah Kartini memang khusus menampung anak-anak yang terpinggirkan. "Mereka adalah anak dari orangtua yang tak punya KTP karena dinilai warga ilegal."
Sekolah Darurat Kartini memang selalu berada di dekat gubuk-gubuk sementara. Tak heran, ketika pemerintah maupun pemilik lahan melakukan penertiban, gedung sekolah pun jadi lahan penggusuran. Sekolah Kartini awalnya berdiri di Pasar Rebo, lalu pindah ke bantaran Kali Sunter, Senen, kolong tol Kampung Bandan hinga sekarang ini menempati lahan pegudangan milik PT KAI di pinggir rel. "Jadi kami sudah kenyang digusur," kata Rossi. "Sudah biasa menghadapi penggusuran," sambung Rian.
Setelah digusur, Rian dan Rossi pun segera mendirikan gedung sekolah di tempat lain. "Kalau tidak, siapa yang peduli dengan masa depan mereka?"
Sukrisna