Kisah Omih Membela Kaum Buruh (1)

By nova.id, Rabu, 24 Oktober 2012 | 20:45 WIB
Kisah Omih Membela Kaum Buruh 1 (nova.id)

Kisah Omih Membela Kaum Buruh 1 (nova.id)

"Foto: Ade Ryani/NOVA "

Omih (28) terlambat mengobati anaknya yang terkena DBD hingga sang buah hati meninggal dunia. Katanya, gara-gara atasan mempersulit izin cutinya. Kekesalannya makin menjadi karena ia dan kawan-kawan buruh lainnya merasa dipersulit beribadah, minum, dan ke toilet. Omih pun nekat mengirim SMS berisi ancaman bom dan berujung di penjara.

Sorak ketidakpuasan terdengar membahana memenuhi pintu gerbang Lapas Wanita Tangerang, Sabtu (6/10) lalu. Di tengah terik matahari, ratusan orang tanpa henti berteriak menuntut kebebasan Omih, buruh perempuan PT Panarub Dwikarya (PDK) yang dipenjara.

 Tak hanya keluarganya, para buruh PDK dan berbagai kelompok masyarakat yang peduli pada nasib Omih rela menungguinya sejak pagi. Setelah pihak penjamin bernegoisasi alot di Kepolisian, Omih akhirnya resmi bebas dan keluar melewati pintu Lapas pukul 14.00.

 Ungkapan bahagia, rasa lega, dan isak tangis bercampur jadi satu menyambut Omih yang langsung bersujud syukur. Setelah disel selama seminggu, akhirnya ia mendapat jaminan penangguhan penahanan tapi dikenakan wajib lapor tiap Senin dan Kamis ke Polres Metro Tangerang.

Dipersulit Izin Cuti

 Kejadian pahit itu berawal dari demo tanggal 12 Juli silam. Saat itu, sekitar 1.300 buruh PDK yang mogok kerja di-PHK sepihak oleh perusahaan pembuat sepatu yang berada di kawasan Tangerang. Omih termasuk satu di antaranya.

 Terakhir bekerja, Omih menjabat sebagai mandor buruh di bagian assembling. Kendati berstatus mandor, kata Omih yang sudah bekerja sejak 2009, ia harus mengerjakan tiga pekerjaan yang seharusnya dibagi kepada tiga orang lainnya.

 Alhasil, belum selesai satu pekerjaan, sudah ditunggu pekerjaan lain. "Suka ditegur, 'Ayo cepat kerjanya! Lambat banget! Bisa kerja enggak, sih? Kalau enggak bisa kerja, jualan aja di luar!'" paparnya menirukan omelan sang atasan yang kerap diterimanya selama bekerja.

 Kekesalan Omih terus menumpuk tatkala ia dipersulit mendapat izin cuti, "Teman sesama buruh pun begitu. Mau ke toilet, salat, atau minum,tidak dapat izin. Atasan bilang, nanti saja. Masak begitu? Itu, kan, hak kami," ujar Omih dengan nada gusar.

 Terhitung sejak Februari lalu, pabrik PDK melakukan efisiensi jumlah karyawan. Perusahaan juga memberlakukan sistem kerja produksi di bagian cutting, sewing, assembling, berubah menjadi line system (one piece flow). Sehingga pekerjaan tiap buruh akan menumpuk bila ditinggalkan, meski hanya beberapa menit saja.

Kehilangan Anak

 Dengan jam kerja mulai dari pukul 07.00 hingga pukul 16.00, tiap bagian rata-rata memiliki target yang harus dipenuhi, yakni 150 pasang sepatu per jam. Namun jam kerja itu tidaklah mutlak. "Kami sering harus lembur sampai tengah malam. Diawasi dengan ancaman." Bahkan, tambah Omih, "Kami terus-menerus diintimidasi, dibilang lambat lah, bakal diganti orang lain lah. Banyak kata-kata tak enak terdengar dari mulut atasan (supervisor)."