Kiprah Para Pengamat Politik Muda (2)

By nova.id, Rabu, 22 Agustus 2012 | 01:27 WIB
Kiprah Para Pengamat Politik Muda 2 (nova.id)

Kiprah Para Pengamat Politik Muda 2 (nova.id)

"Foto: Moonstar Simanjuntak/Nova "

Ray Rangkuti Diselingi Jadi Petani

Komentarnya selalu jernih hingga tak ada kesan "membela yang bayar". Keberpihakannya justru selalu ditujukannya kepada mereka yang tertindas atau tersingkirkan. Ray Rangkuti juga getol mengkritisi pemerintah jika ada sesuatu yang tak beres, entah soal demokrasi, hak asazi manusia, korupsi, atau pengelolaan negara yang salah. Tak heran, Ray sering diminta menjadi narasumber bagi sejumlah media.

Lazimnya pengamat politik, Ray mengaku selalu berusaha untuk independen saat menghadapi masalah. "Saya begini karena tak punya tendensi apa-apa, kecuali ingin negeri ini dikelola dengan baik," jelas pria yang mengaku selalu resah saat melihat ketimpangan dan penyelewengan dalam pengelolaan pemerintahan. "Apalagi jika saya tidak bisa berbuat apa-apa. Bukan hanya sakit psikis, badan pun jadi sakit."

Sikap independen ini juga tercermin dalam Lingkar Madani atau Lima, NGO (Non-Government Organization) yang dipimpinnya saat ini. "Inilah NGO satu-satunya yang tidak menerima dana dari asing, pemerintah, ataupun partai," papar Ray.

Sejak membentuk Lima, Ray sudah bertekad akan membiayai sendiri lembaga yang dikelolanya itu. Tujuannya, Ray ingin menampik kritikan dari dalam negeri bahwa LSM adalah antek-antek asing karena dapat dana dari luar negeri. "Di satu sisi, para donatur asing pasti punya kepentingan. Mereka bikin ide-ide, lalu para NGO yang mempopulerkan di Indonesia," jelas Ray.

Sikap Ray yang selalu resah melihat kondisi di sekelilingnya ini mungkin hasil pelajaran hidup sejak kecil. Ray muda memang selalu diajari untuk peka terhadap lingkungan sekitar dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain. "Bukan hanya teori, orangtua memberi contoh bagaimana kita harus peka terhadap lingkungan," kata anak ke-11 dari 12 bersaudara pasangan HM Syarif Rangkuti dan Saudah Nasution.

Ray kecil juga terbiasa membaca majalah "berat", seperti Majalah Tempo, Panji Masyarakat, dan Kiblat. "Dari bacaaan-bacaan itu saya memperoleh gambaran, ada yang salah dalam pengelolaan negara ini. Karena saat itu saya masih SMP, saya hanya bisa resah dan belum bisa berbuat apa-apa."

Barulah setelah kuliah, keresahan Ray tersalurkan. Dua pekan menjadi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Ray sudah turun ke jalan, bergabung dengan aktivis lain berdemo di Kedubes Amerika. "Waktu itu kami menentang tindakan Amerika menyerang Iran," jelas Ray. Sejak saat itu ia pun rajin turun ke jalan. "Paling tidak sebulan dua kali pasti ikut demo dengan masalah yang bermacam-macam," ujar Ray yang kerap jadi penggerak dan selalu berada di garda depan.

Ray juga tercatat pertama kali mengerahkan mahasiswa dalam jumlah besar ke Gedung DPR. Pernah suatu kali, ia membawa 3.000 mahasiswa UIN Jakarta ke gedung wakil rakyat itu. "Pengerahan besar-besaran ini dapat izin dari rektor dan banyak diikuti oleh universitas-universitas lain. Akhirnya, lahirlah reformasi dan Orde Baru tumbang."

Ray memang tak pernah mengukur seberapa besar perannya dalam proses reformasi. Setelah Pemerintahan Orde Baru tumbang pun, ia bergeming dan tetap memilih berada di luar pemerintahan. "Walau sebenarnya banyak kesempatan. Ada juga yang menawari saya masuk partai. Tapi kalau saya ikut mereka, siapa yang menjaga dari luar?" kilah Ray.

Toh, hidup Ray tak selalu tentang politik. Pemilik nama asli Rahmad Fauzi ini menyeimbangkan hidup dengan menjadi petani dan pengelola tambak ikan. "Saya punya sedikit lahan pertanian di Parung, tapi penggarapannya saya serahkan ke sebuah pesantren. Saat ini ditanami padi organik," jelas Ray. Selain sawah, ia juga menggarap tambak ikan di Cibubur. Di tempat itu lah, Ray membangun saung sebagai wadah diskusi para aktivis.

Tambak dan sawah itu menjadi bekal Ray jika kelak ia berkeluarga. "Karena saya juga harus memikirkan masa depan . Yang penting, kalau sudah di sawah saya tak lagi memikirkan keruwetan negeri ini. Ha ha ha."

 Sukrisna