Kisah Miris Ali, Remaja yang Dilanda Ketakutan

By nova.id, Jumat, 29 Juni 2012 | 11:45 WIB
Kisah Miris Ali Remaja yang Dilanda Ketakutan (nova.id)

Kisah Miris Ali Remaja yang Dilanda Ketakutan (nova.id)

"Foto: Laili Damayanti/NOVA "

Perang suku di Bumi Cendrawasih tak kenal henti menyisakan sederet cerita miris bagi anak-anak negeri ini. Ali Weya (16) salah satu korban konflik suku  akhirnya merantau ke Jakarta demi masa depan yang lebih baik. Ali yang berasal dari desa Mamit, Tolikara, Papua, mengaku senantiasa merasa terteror dengan kewajiban anak laki-laki suku Papua untuk angkat panah dan tombak melawan suku lain.

"Biasanya perang dipicu masalah seperti pencurian atau rebutan bahan makanan. Begitu masalah terjadi, mereka langsung angkat panah dan perang," tutup Ali mengawali kisahnya.Sejak usia 12 tahun, sebagai anak laki-laki Ali diwajibkan mengangkat panah. Sudah sekitar 5 kali lebih Ali mengikuti perang antar suku. Bukan kebanggaan yang didapat, melainkan trauma tak berujung senantiasa dirasakannya selama berada di tengah keluarga sekampungnya.

Perang yang dapat terjadi 2 kali seminggu ini biasanya memakan waktu berperang selama satu mingguan. Selama itu pula Ali harus meninggalkan bangku sekolah dan siaga untuk menerima perintah menyerang atau bertahan dari serangan suku lain.

"Kami warga Papua harus selalu siap angkat panah dan berani mati karena dendam dan serangan musuh," ujarnya. Selama 4 tahunan Ali merasa perang suku ini tak sejalan dengan hati nuraninya."Saya tidak ingin ikut perang karena tidak mau menyakiti orang lain. Saya juga takut kalau sampai membunuh orang," ungkap Ali yang kerap meninggalkan perang dan memilih pergi jauh dari arena peperangan.

Setiap kali Ali tak mau ikut perang, Ali harus menanggung sanksi dari suku di kampungnya."Kalau tidak perang, saya dapat sanksi. Tidak boleh makan ubi di rumah, kalau mau makan ubi harus cari sendiri diluar," tuturnya  lagi. 

Selain sanksi fisik, Ali juga harus menerima tekanan dan dimarahi oleh orang-orang tua karena tidak ikut perang.Akhirnya, mau tak mau Ali pun ikut perang."Meski dalam hati saya takut tapi saya harus ikut juga," ungkap Ali pasrah.

Suatu ketika Ali nekat pergi jauh-jauh dari perang suku. Ali lari berkilo-kilo meter ke dalam hutan berusaha menghindari amarah dan tuntutan perang. "Memang di sana seram dan bisa dapat sakit. Tapi akhirnya ada saudara yang masih Om tapi guru yang mau bantu," ungkap Ali senang.

Berkat bantuan kerabat Ali, akhirnya Ia dapat pergi ke Jakarta untuk mendapat fasilitas dan perlindungan dari pemerintah. "Saya hanya ingin menyelesaikan sekolah. Nanti saya ingin jadi pengusaha peternakan. Selama ini suka sekali beternak ayam dan babi, jadi sudah tahu bagaimana beternak," tekad Ali tak ingin masa depannya terbengkalai karena perang antar suku di Papua.

Laili