Hingga kini S mengaku takut mengalami kekerasan di tempat kerja dan kerap bersikap waspada terhadap keramaian. Ya, S adalah salah satu korban trafficking asal Sukabumi yang akhirnya ditemukan dan diadvokasi oleh KPAI (komisi perlindungan anak Indonesia). Kepada tabloidnova.com, S menuturkan pengalaman traumatisnya.
Kisah bermula kala Entin (40) tetangga sekampungnya di Sukabumi, Jawa Barat, membujuknya untuk bekerja pada saudara majikannya yang memiliki usaha restoran di Medan. Entin sendiri sudah berkeluarga dan sudah lama merantau di Jakarta. "Kata dia, saudaranya sudah bekerja di sana dan gajinya gede sekitar Rp 2.000.000 per bulan," tutur S menirukan perkataan Entin menjelang akhir tahun 2011 lalu.
S yang kala itu masih duduk di bangku kelas 3 SMP sempat tidak tertarik apalagi saat ibunya, Nong Suryani, juga tidak sepakat S merantau terlalu jauh ke Medan. S sendiri yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara dianggap masih terlalu kecil bekerja. Kendati demikian, Entin tidak serta merta menyerah begitu saja.
"Entin terus membujuk, katanya di sana kerjanya enak, pakaiannya sopan, dan gajinya lumayan. Yang udah-udah kerja di sana, bisa kirim uang ke kampung sampai Rp 5.000.000 per bulan," ujar S mengisahkan bujuk rayu Ibu Entin yang akhirnya meluluhkan hati S dan keluarga.
Sekitar akhir tahun 2011 S dibawa Entin dan suaminya hijrah ke Jakarta."Saya sempat dibawa ke tempat bosnya di Pulogadung dan tinggal selama 5 hari di sana. Katanya, nanti akan diantar ke bandara sekalian dengan Entin dan suaminya, mereka juga mau kerja di Medan," ungkap S polos.
Ternyata Entin justru pulang kampung, dengan alasan mengambil pakaian. S pun diantar sendirian ke bandara Cengkareng oleh majikan Entin dan nantinya akan dijemput di bandara Medan oleh calon majikannya.
Sesampainya di bandara Polonia Medan, S langsung dijemput Ucok sang pemilik restoran. Saat melihat paras cantik dan kulit putih bersih S, Ucok langsung terbetik ide memanfaatkan pesona si gadis untuk meramaikan restoran.
"Handphone saya diminta, katanya supaya saya enggak SMS an sama tamu-tamu. Yang lebih kaget lagi, ternyata saya dipekerjakan di kafe," tuturnya. Setelah tak lagi memiliki alat komunikasi dan tak ada yang dikenal, S harus menjalankan pekerjaan yang diminta Ucok padanya.
Anak di bawah umur ini dipaksa menjadi pelayan penuang minuman keras dan menemani tamu yang kebanyakan laki-laki pemabuk. Belum lagi, selama melakukan tugasnya S harus mengenakan pakaian serba minim. Tidak diizinkan mengenakan jaket dan celana panjang. Dan setiap hari dirinya harus berhadapan dengan perkelahian bahkan bunuh membunuh.
Tak tahan diperlakukan tak sepatutnya, S sempat berontak. Sayangnya, Ucok justru menyekap S dan seorang pegawai lain di kamar selama sehari. "Saya sempat minta tolong sama bang Marlan yang bekerja sebagai pengawas di sana. Dia yang bantu saya kabur dari cafe," ungkap Spenuh rasa syukur kendati selama sebulan lebih bekerja belum sempat menerima upah atas jerih payahnya.
Setelah S berhasil kabur, dirinya dibantu Marlan (yang kemudian juga mengundurkan diri dari cafe Ucok) melapor pada Polda Sumatra Utara. Oleh polisi, laporan S segera diproses dan dirinya diberi fasilitas untuk tinggal di shelter.
Laili / bersambung