Kerja berat serupa pernah dilakoni Dr. Djaja Surya Atmadja, SpF, PhD, SH, DFM, spesialis forensik dan ahli DNA forensik dari FKUI/RSCM, saat tragedi Bom Bali II tahun 2005. Dari 200 jasad korban, "Sebagian dalam kondisi hancur berantakan dan gosong terbakar. Dari jumlah itu, 80 persen identifikasi selesai dalam satu bulan tapi perlu waktu sampai enam bulan sampai benar-benar tuntas," katanya sambil menambahkan, kala itu timnya dibantu oleh tim forensik dari 26 negara. "Makanya fasilitasnya juga sangat lengkap."
Dari pengalaman Djaja, kepastian identitas korban mayoritas disumbang oleh identifikasi gigi, yaitu sebesar 60 persen, disusul uji DNA (Deoxyribonucleic Acid) sebesar 30 persen, dan sidik jari sebesar 10 persen. "Uji DNA memang bisa selesai dalam hitungan hari tapi pencocokannya yang lama."
Sementara untuk rekonstruksi, Djaja menyebut lebih mudah jika bagian tengkorak atau tulangnya masih utuh. "Cara pertama dengan sejenis lilin khusus yang direkatkan pada tulang dan membentuk rekaan wajah korban. Kedua, wajah korban difoto dan direkonstruksi dengan komputer melalu metode superimposisi."
Langkah terakhir sebelum diserahkan kepada keluarga, dokter akan berusaha menyatukan potongan-potongan besar jenazah dengan menjahitnya. "Untuk serpihan atau potongan kecil biasanya dibungkus tersendiri dan ditaruh di sampingnya. Bagi yang beragama muslim akan diberi kamper dan cendana lalu dibungkus kain kafan dan dimasukkan ke dalam peti." Sisa serpihan kecil lain yang tak teridentifikasi, lanjur Djaja, biasanya akan disatukan. "Atas perintah Ketua DVI, sisa itu bisa saja dikremasi." Setelah seluruh proses tuntas, dokter membuat surat kematian hingga jenazah dapat diserahkan kepada keluarga korban.
Ade, Ajeng, Hasuna