Teater Tari Sahita Seperti Kejeblugan Abu Dapur (1)

By nova.id, Minggu, 20 Mei 2012 | 01:36 WIB
Teater Tari Sahita Seperti Kejeblugan Abu Dapur 1 (nova.id)

Teater Tari Sahita Seperti Kejeblugan Abu Dapur 1 (nova.id)
Teater Tari Sahita Seperti Kejeblugan Abu Dapur 1 (nova.id)

"Foto: Siswanto/Dok NOVA "

Wajar mereka akrab dengan dunia teater karena sebelumnya artis Sahita ini adalah anggota Teater Gapit, kelompok teater berbahasa Jawa di Solo yang pentas-pentasnya sudah menasional. Namun ketika pimpinan yang sekaligus jadi sutradara  Bambang Widoyo SP meninggal dunia, mereka merasa kehilangan orang yang mengampunya. Mereka juga kebingungan menyalurkan jiwa seninya.

"Setelah berembuk, kami mendirikan Sahita. Semula ada Atma tapi karena studi S2-nya sudah selesai, dia pulang ke daerahnya. Lalu masuk Hartuk. Ketika kami butuh tampil berlima, kami mengajak Thing Thong. Ternyata Hartuk di kemudian hari juga sibuk dengan Teater Sarotama. Dia pun izin tidak aktif. Sekarang tinggal kami berempat," jelas Inong yang bernama asli Wahyu Widayati.

Penikmat karya Sahita mulai dari pencinta seni murni hingga masyarakat biasa yang mengundangnya untuk  peringatan weton (hari lahir Jawa) hingga memeriahkan pesta perkawinan. "Ada cerita lucu saat kami diundang ke acara perkawinan. Si pengantin pria sengaja membuat surprise tidak memberitahukan keluarganya. Nah, ketika MC bersiap mengundang kesenian yang dimaksud, kami sengaja duduk-duduk di depan pintu masuk. Eh, kami diusir. Katanya untuk lewat para penari. Begitulah, begitu nama Sahita disebut MC, kami lantas menari. Semua yang hadir merasa surprise."

Pernah juga, Sahita mengalami "kecelakaan" menjelang pementasan di  Sukolilo. Menurut Inong, kala itu, Sahita hendak membawakan karya Iber-Iber Ledhekan, namun lupa tidak membawa kebaya. "Kami lalu pinjam daster kepada warga yang sudah tua. Daster itu  kami sobek-sobek. Selanjutnya kami pakai "ilmu dapur" alias mencari arang ke dapur untuk make-up. Jadilah hari itu kami ke luar dapur seperti orang habis kejeblugan arang dan abu dapur. Ha ha ha..."

Secara ekonomi, Sahita mengaku belum merasakan efek ketenaran." Yang mengundang kami da­ri berbagai lapi­san masyarakat. Itu yang­ membuat kami harus empan papan soal bayaran. Pentas di Solo ka­mi anggap "mencangkul" dan di luar kota itu lahan rezeki  kami," terang Atik yang kini meminta salah satu manajemen di Jakarta untuk menge­lola pekerjaan Sahita.

Rini Sulistyati / bersambung