Tenaga terampil menjahit dan memordir terdekat ada di Kudus. Terpaksa, Henny mengandalkan suami bolak-balik Juwana-Kudus membawa kain ke penjahit dan pembordir. "Suami naik motor menggendong ransel isi kain. Itulah perjuangannya."
Henny terpacu terus berproduksi karena pelanggan lama dan teman-temannya di Solo masih mencari produknya. "Mungkin karena produk saya memiliki ciri khas yang beda dari mukena yang kala itu didominasi warna putih. Dulu imej mukena itu, kan, harus putih. Padahal saya punya prinsip kalau mau salat, menghadap Allah ya bukan cuma putih bersih, tapi juga harus indah. Makanya selain membuat mukena putih, saya kombinasikan dengan batik, kain motif bunga-bunga, atau belacu dengan bordir minimalis."
Ternyata, mukena kreasinya banyak diminati pembeli. Pesanan dari toko mencapai ribuan. Posisi tawar Henny pun makin meningkat. "Saya minta sistem bayar kontan," ujar Heny yang terus meningkatkan keterampilan karyawannya. "Saya membelikan buku-buku menjahit. Yang sudah terampil, mengajari kawannya yang belum bisa."
Lambat laun work shop Henny pun kedatangan siswa SMK yang melakukan praktik kerja lapangan (PKL). Para siswa ini menularkannya kerampilannya pada ibu-ibu lainnya. Banyak ibu yang kemudian datang mengambil pekerjaan dan membawanya pulang. "Kalau sudah jadi, disetor ke saya lagi."
Seiring pertumbuhan produknya, Henny menambah mesin bordir, termasuk mesin komputer yang mampu membordir dalam jumlah banyak sekaligus. "Sekarang saya hanya mengurusi produksi. Suami saya yang memasarkan. Dia, kan, lulusan fakultas ekonomi," terang Henny yang kini mulai semakin melebarkan produknya. Ia juga membuat busana untuk anak-anak dan remaja.
Rini Sulistyati / bersambung