Menilik Industri Batik Surabaya (2)

By nova.id, Senin, 19 Maret 2012 | 05:27 WIB
Menilik Industri Batik Surabaya 2 (nova.id)
Lintu Tulistyantoro "Sah-Sah Saja Mengklaim Batik Surabaya"

Benarkah Surabaya sama sekali tak memiliki tradisi membatik? Berikut penuturan Ketua Komunitas Batik Surabaya Lintu Tulistyantoro, yang juga berprofesi sebagai dosen desain interior di Universitas Kristen Petra Surabaya.

Benarkah Surabaya tak punya tradisi batik? 

Saya yakin tiap kota pasti punya tradisi membatik. Karena batik adalah pakaian rakyat. Apalagi Surabaya dulu ada Kadipaten Surabaya yang dipimpin Pangeran Pekik. Namun Pangeran Pekik berhasil ditaklukkan Mataram. Satu gejala umum ketika ada daerah yang menjadi besar, kemudian daerah sekelilingnya pasti berorientasi ke yang besar. Mataram berkembang menjadi Yogyakarta dan Surakarta.

Akhirnya dua kota di Jateng ini menjadi patokan gaya hidup. Sama dengan sekarang, orang saat ini berkiblat ke Jakarta. Karena Jakarta menjadi pusat informasi, uang, dan sebagainya. Saya yakin Surabaya punya tradisi membatik tapi tidak terlacak saja. Soalnya semua jadi berkiblat ke Yogyakarta dan Surakarta.

Apa tanggapan Anda jika ada yang mencoba menciptakan batik Surabaya?  

Memang sempat dimunculkan identitas batik Surabaya seperti yang dilakukan Putu dengan motif batik ikan hiu dan buaya. Itu salah satu pencarian jatidiri yang divisualkan seseorang. Ini sah-sah saja. Tapi menurut saya yang paling memungkinkan untuk digarap adalah batik mangrove karya Lulut. Karena Lulut mengawali batik tanpa ada pertalian dengan batik kuno.

Selain itu, Lulut juga ada misi pemberdayaan masyarakat melalui batik. Saya juga melihat ada ekspresi seni batik mangrove yang berbeda. Kemudian teknik pewarnaan yang menggunakan limbah mangrove dan bahan alami lainnya bisa menjadi nilai tambah. Meski sebenarnya hutan mangrove terdapat di sepanjang Pantai Utara Jawa, tapi sampai sekarang belum ada daerah lain yang memunculkan ide batik mangrove.

Potensi lainnya saya lihat di Komunitas Klampis Ireng. Basis mereka memang bukan perajin batik, tapi juga bukan benar-benar tak mengerti batik. Jika dikembangkan akan muncul batik Surabaya, tanpa menyingung batik dari daerah lain. Selain itu, Klampis Ireng berasal dari anak-anak muda yang cukup bebas. Kerangka berpikirnya tak terbatasi. Batik tidak harus parang atau kawung, sehingga bisa lebih variatif.

Bagaimana cara menghidupkan kembali batik Surabaya? Saat ini batik Surabaya tergolong mahal. 

Sebetulnya jangan menutup mata dengan daerah lain. Misalnya saja di Pamekasan. Daerah ini sangat unik karena bisa memenuhi kebutuhan batik untuk semua level masyarakatnya. Di daerah ini masih tersedia batik tulis dengan harga di bawah Rp 100 ribu, kok. Mereka menyiasatinya dengan tidak bermain di kehalusan bahan atau di kerumitan motif. Sehingga harga bisa ditekan.

Tapi untuk membuat batik dengan harga murah seperti buatan Pamekasan tentu saja tak mungkin karena upah minimum (UMR) perajin di Surabaya berbeda dengan Pamekasan. Mereka mengerjakan batik bukan sebagai pekerjaan utama melainkan sambilan di saat musim tanam.

Jika mau seperti di Pamekasan, bisa saja. Misalnya bermain di desain yang lebih simpel. Atau siasat kedua, menggunakan batik cap, bukan print. Batik printing tak termasuk batik. Pengertian batik printing adalah produk tekstil bermotif batik. Jujur saja kami tidak mendukung karena proses print akan mematikan perajin batik. Dalam batik kan mengandung unsur malam dan tangan para perajinnya.

 Amir Tejo