Bulan berikutnya, bayaran kami menyusut menjadi Rp 200 ribu. Sudah begitu, beras dan sayur tak lagi disediakan buat kami makan. Saya, kan, masih menyusui Agus. Anak saya juga perlu makan. Mana cukup dengan uang Rp 200 ribu? Menambah pendapatan, Heru diam-diam mulai bekerja sebagai sopir bagi seorang bule yang tinggal di dekat rumah.
Entah keluarga Purnabawa tahu atau tidak Heru bekerja sambilan, yang jelas di bulan kelima kami sama sekali tak terima gaji. Saya sempat bertanya pada Ibu Ayu, yang kalau di rumah saya panggil dengan sebutan Mbok. "Mbok, kenapa sudah satu bulan ini saya tidak dikasih gaji? Sedangkan beras saya enggak ada. Sayur juga enggak Mbok beliin. Saya di sini, kan, butuh makan," begitu saya bilang. Dia tidak menjawab apa-apa. Dengan wajah cemberut, dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Saya bingung. Mau pindah, kami tak punya tabungan.
Ibu Ayu memang punya bisnis spa yang berlokasi di Kampial, tapi spanya sepi sekali. Sementara Pak Purnabawa bekerja sebagai sopir dan guide untuk mengantar tamu. Hingga minggu pertama Februari, gaji kami tak dikasih juga. Perasaan saya saat itu kesal dan sakit hati. Semuanya bercampur jadi satu.
Terdengar Jeritan
Rasanya itulah yang menjadi pemicu emosi Heru malam itu. Kepada saya dia berkata, "Gaji enggak dikasih, anak diperlakukan enggak kayak manusia, kamu juga dibeginikan. Saya sakit hati!" Setelah perbincangan itu, sekitar jam 00.30, Heru menerima SMS. Entah dari siapa. Saya lihat dia membalas SMS itu. Tak berapa lama, ada SMS masuk lagi. Wajah Heru mendadak tegang.
Sayup-sayup saya dengar pintu belakang dibuka lalu ditutup dengan hati-hati. Entah oleh siapa. Sepertinya ada orang masuk, tapi saya tak yakin berapa jumlahnya. Sungguh, saya takut sekali. Dalam diam, saya dan Heru saling berpandangan di kamar kami yang pintunya tertutup.
Tak lama, saya dengar pintu kamar Risna dibuka lalu ditutup kembali. Sejenak suasana kembali sunyi. Tiba-tiba saya dengar suara Pak Purnabawa memekik tertahan diikuti bunyi 'pak pok, pak pok' seperti orang dipukul. Setelah itu terdengar jeritan seseorang, tapi saya tak yakin suara siapa. "Aaah...!" lantas kembali sunyi. Segala kemungkinan terburuk berkelebatan di benak saya. Tubuh saya gemetar hebat. Sepanjang kejadian itu, saya tidak bertanya apa pun ke Heru. Saya cuma ngomong, "Saya takut," tapi dia diam saja.
Kesunyian terpecah ketika tiga orang bertopi dan bertopeng membuka pintu kamar kami. Saya tak kenal siapa mereka karena seluruh wajah, kecuali mata mereka, tertutup. Mata mereka merah. Mereka kemudian bicara pada Heru dengan bahasa Madura yang tak saya mengerti. Seusai berdiskusi, mereka ke luar dari kamar. Lagi-lagi mereka menuju kamar Ibu Ayu. Saya tahu hal itu dari suara pintu kamar yang dibuka dan ditutup lagi.
Setelah itu mereka kembali ke kamar kami, kali ini sudah melepas penutup wajah, sambil mengajak Heru ke luar. Suami saya mengikuti mereka dari belakang dan berjalan menuju garasi. Dari jendela kamar, saya lihat Heru mengeluarkan mobil.
Renty Hutahaean / bersambung