Namun pendiriannya begitu kuat. Rian malah mendaftar ke Alfa Flying Club (Jakarta Pilot School), September 2010. Ia lulus seluruh prasyarat dan meninggalkan bangku kuliah yang baru saja dimulai. Uang kuliah di Binus yang sudah dibayarkan pun hangus semua. Melihat tekadnya yang besar untuk jadi pilot, aku pun mengalah. "Rian janji tidak akan mengecewakan Papa dan Mama," janjinya sepenuh hati.
Baru beberapa bulan, anakku sudah diizinkan terbang solo. Tak percaya, kudatangi sekolahnya. Kata para instruktur, Rian memang mampu dan cepat menangkap pelajaran. Ia juga mendapat sertifikat Private Pilot License (PPL). Agar bisa masuk ke penerbangan komersial, Rian ingin melanjutkan sekolah penerbangan di Filipina. Aku bilang padanya, kami tak punya uang untuk membiayainya sekolah di sana. Rian bersikeras, feeling-nya akan hilang kalau tidak langsung melanjutkan sekolah. Demi mewujudkan keinginannya itu, ia rela menjual mobil yang kubelikan untuknya.
Begitulah, saat aku sedang dinas di Sorong, Papua, Rian mengabarkan sudah dapat sekolah. Ia mendaftar di Nusa Flying International School, Jakarta. Katanya, Juli 2011 ada kelas baru untuk program Commercial Pilot License (CPL). Di asrama ia belajar disiplin dan serba teratur. Sejak itu Rian jarang pulang. Dalam sebulan, kalau sedang terbang ia hanya kembali ke rumah hari Sabtu-Minggu. Kami bertemu lama hanya ketika libur Lebaran.
Wisuda Pertemuan Terakhir
Sebagai anak sulung, Rian dekat dengan ketiga adiknya. Dengan adik laki-lakinya, ia sering main bola bersama. Selama Rian menghilang pun, si bungsu sering bertanya, "Papa sudah pulang, sudah ketemu cari Mas Rian, ya? Mas mana, Pa?" Sungguh aku bingung harus menjawab apa.
Sekarang baru terasa betapa sepinya rumah tanpa kehadiran Rian. Kalau ia ada di rumah, sering mengutak-atik komputer dan nonton bola. Kami juga sering pergi makan bersama, nonton ke bioskop, atau sekadar ngobrol di rumah. Kadang lari pagi di Senayan atau keluar kota bersama.
Terakhir ia pulang ke rumah pada 12 November sambil membawa undangan wisuda. Ketika ditanya, ia bilang, "Aku jadi diwisuda, tapi kalau orangtua enggak datang juga enggak apa-apa, sih." Setelah menyampaikan undangan itu, siangnya dia pergi main futsal dan les Bahasa Inggris. Setelah itu, Rian diantar istriku kembali ke asrama.
Waktu berlalu begitu cepat. Melihat Rian diwisuda, aku sungguh bangga tak terkira. Jelas terlihat dari raut wajahnya, Rian begitu bahagia. Tapi, ada yang berbeda ketika itu. Tak biasanya Rian terus menelepon, menanyakan kenapa aku belum tiba. Ternyata ia ingin sekali mengenalkan aku dan istriku pada teman-temannya di sekolah. Di hadapan teman-temannya Rian bilang, "Kenalin, nih, ini nyokap bokap gue."
Padahal, selama ini Rian paling enggan terlihat bersama kami. Gengsi, katanya, kayak anak mami. Dari mereka pula aku tahu, meski usianya paling muda, Rian sangat supel dan humoris. Tak heran begitu banyak yang hadir di pemakaman Rian. Ya Allah, sungguh aku bersyukur begitu banyak orang yang sayang dan mendoakan anakku.
Rencananya, setelah lulus Rian akan bekerja di sebuah maskapai penerbangan. Ia juga ingin melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum. Tapi rupanya Allah punya rencana lain untuknya. Acara wisuda itu menjadi pertemuan terakhir kami dengannya. Aku menyesal, kenapa aku tak menjemputnya kembali pulang ke rumah supaya tak perlu ikut terbang esok harinya. Supaya ia tetap ada di tengah kami semua. Ah...
Jujur, sebagai kepala keluarga aku merasa terpukul dan kehilangan. Hati ini begitu sedih. Aku merasa gagal menjaga anak sendiri. Namun apa gunanya terus menangisi Rian? Allah lebih menyayanginya untuk diambil kembali. Kuanggap ini jalan kehidupan dan ada hikmah dari kekuasaan-Nya. Selamat jalan, Nak....
Ade Ryani