Didi Wahyudi, Konsul dari Konsulat Jendral RI (KJRI) Jeddah untuk Perlindungan WNI, menjawab tuduhan kejanggalan yang ditemui tim investigasi dari Migrant Care dan sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Advokasi dan Perlindungan TKI. "Supaya semuanya clear. Dalam rombongan 7 orang itu, juga ada dosen IAIN yang mengetahui tentang Hukum Islam. Di Arab, siapa yang salah harus dihukum. Kerugian jiwa dibayar dengan jiwa. Kami sudah berusaha maksimal dan mereka mengerti. Kenapa ketika bertemu dengan sekarang berbeda? Kami tersinggung, merasa ditusuk dari belakang," ujar Didi.
Benarkah KJRI telah berusaha maksimal, seperti melakukan investigasi dan memintakan ampun kepada keluarga majikan Ruyati? Menurut Didi, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi telah memberitahu KJRI terkait hukum qishas Ruyati seminggu sebelumnya. Namun, informasi kapan eksekusi berlangsung, baru diberitahu dua jam di malam sebelumnya.
Didi juga menjelaskan, sebelum qishas dilakukan, pihak KJRI telah mengirimkan surat melalui lajnah al-'Afu wa al-Ishlah Dzat al-Bait, semacam lembaga rekonsilisasi yang dipimpin oleh Amir Khalid bin Faishal bin Abdul Aziz (Gubernur Mekah). Namun, keluarga korban Khairiya binti Hamid Mijlid tidak mau ditemui dan malah meminta Dewan Raja agar Ruyati dihukum mati.
Selain itu, pihak KJRI juga mengirim dua surat kepada Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi sebagai nota protes diplomatik atas eksekusi Ruyati. Nota ini sempat diminta tim investigasi, namun tak diizinkan oleh Didi. "Nota diplomatik tidak bisa sembarang diumbar begitu saja. Dokumen ini milik negara, tidak bisa main di-copy pihak lain," ungkap Didi lebih lanjut.