Ketika "Sang Tupai" Akhirnya Jatuh Juga (2)

By nova.id, Kamis, 29 September 2011 | 10:27 WIB
Ketika Sang Tupai Akhirnya Jatuh Juga 2 (nova.id)

Ketika Sang Tupai Akhirnya Jatuh Juga 2 (nova.id)
Ketika Sang Tupai Akhirnya Jatuh Juga 2 (nova.id)

"AN dan suami, meski masih sedih dan trauma, korban berharap G dihukum setimpal, agar tak ada korban serupa. (Foto: Ade Ryani) "

PAMPRIH SKRIPSI & TESIS

Selain AIF, rasa malu dan trauma juga membayangi AN (25). Kamis (22/9), perempuan yang sudah memiki anak dan suami ini bertutur, ia kenal G sejak 2007 lewat sang ayah yang juga bekerja di BPN. "Dia teman baik ayah saya. Ayah minta tolong G jadi narasumber skripsi yang sedang saya susun saat itu." Lulus kuliah, AN bekerja di BPN dan melanjutkan pendidikan S2. Ia kembali dibimbing G saat menyusun tesis. Kala itu, G sudah jadi direktur.

Pelecehan G terhadap dirinya, kata AN, bermula saat ia menghadap G di ruangannya untuk menanyakan alasan pelarangan dirinya tugas luar kota selama setahun. "G bilang, saya harus konsentrasi kuliah dan tesis S2. G malah memberikan uang 1 juta pengganti uang dinas. Saya tolak baik-baik, tapi G memaksa. Katanya, 'Ah, kamu, gitu aja,' sambil mencolek payudara saya. Kaget, saya teriak. Saya hanya ingin ke luar secepatnya dari situ," ujar AN berkaca-kaca. Sambil menangis, AN berusaha melanjutkan pekerjaan. Ia takut memperkarakan kejadian itu karena tak ada saksi. "Saya memang punya hutang budi dibimbing dia, tapi, bukan berarti bisa diperlakukan seperti itu."

Lalu mulai 6 Juli 2011, G meminta AN menjadi asisten pribadinya. Permintaan itu diutarakan langsung oleh G di depan tiga Kasubdit (Kepala Sub Direktorat). Baru menjabat aspri beberapa hari, G kembali melakukan perbuatan cabul. Ceritanya, tutur AN, 12 Juli jam 11.00, G memanggilnya untuk mengatur setting mesin fotokopi di ruangannya agar terintegrasi dengan laptop. G sempat ke luar ruangan. Tak lama ia kembali, menutup pintu, lalu meraba payudara AN dari belakang. Spontan, AN menutup dadanya dengan laptop.

"Saya minta dia berhenti, tapi tak digubris. Dia malah meraba bagian vital saya. Waktu itu saya berjongkok untuk menghindari tangannya. Bukannya berhenti, dia malah makin menjadi. Dia membuka resleting celananya dan meminta saya memegang alat kelaminnya. Saya berulangkali memohon, berontak, sambil berkata, 'Saya anaknya Pak H, Pak,' lalu karena melihat saya menangis, dia berhenti dan menyuruh saya ke luar."

Masih di hari yang sama, sore harinya G kembali memanggil AN untuk membuatkan bahan presentasi. Seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya, G kembali mengulang tindakan tak terpuji ketika AN sedang duduk. AN kontan bersembunyi di bawah meja. Dalam kondisi lemas dan kaget, AN memohon G menghentikan perbuatannya. G justru menagih janji AN untuk mengajaknya dolan (bermain).

"Ternyata dia pamrih soal bimbingan skripsi dan tesis. Pernah G bilang pada saya, 'Saya ini kerjaannya banyak, kamu ke sini ngasih saya kerjaan lagi. Sekali-kali, kamu ke sini, tuh, ngajak dolan, kek.' Kata-katanya waktu itu saya anggap bercanda," ujar AN sambil terisak.

Setelah kejadian itu, malamnya AN mengirim email ke G berisi ungkapan rasa sedih dan kecewa atas perlakuannya. Membalas email tersebut, G meminta maaf dan berterimakasih telah diingatkan oleh AN atas kekhilafannya. "Besoknya dia minta maaf secara langsung dan sempat menawarkan saya pindah posisi. Dia juga menawarkan membelikan jam tangan baru, tapi saya tolak."

Ade Ryani, Laili Damayanti