Sebelum perlombaan di mulai, peserta yang berjumlah ratusan anak lengkap dengan berbagai atribut unik beserta rombongan pawai, berjalan dari depan kantor kecamatan menuju lapangan Ledokombo, berjarak sekitar 1,5 km. Penilaian lombanya, setiap kelompok yang bersisi 4-5 anak tak hanya diminta main egrang, tapi juga unjuk kebolehan memamerkan berbagai atraksi hasil kreativitas khas anak desa.
Yang berada di balik pagelaran ini adalah Farha Ciciek (48). Wanita berdarah Ambon yang bersuamikan DR. Ir. Supo Rahardjo ini memang lahir dii Ledokombo. Ketika mulai menetap di desa yang jauh dari keramaian sejak dua tahun lalu, ia berniat berbuat sesuatu untuk daerahnya. Ia melihat, meski Ledokombo hanyalah kecamatan kecil dengan penduduk yang masih banyak berada di bawah garis kemiskinan, namun anak-anaknya memiliki potensi sangat besar. "Setelah mengobrol dengan anak-anak, ada kesepakatan egrang perlu dijadikan permainan yang dilombakan," kata ibu dua anak yang memperdalam ilmu filsafat dan sosiologi saat kuliah.
Menurut Ciciek, ada banyak nilai terkandung dalam permainan egrang, selain kreativitas dan sportivitas, juga kekompakan. "Nilai-nilai itu sangat perlu ditanamkan kepada anak-anak," tegas Ciciek. Minat masyarakat terhadap festival ini pun kian besar. Di tahun pertama festival, pesertanya hanya anak-anak kelompok belajar saja, tapi kini berkembang lebih banyak dengan mengikutsertakan pelajar SD di Kecamatan Ledokombo. "Lomba egrang ini akan kami jadikan kegiatan tahunan," harapnya.
Gandhi