Rasanya tak percaya ketika Rabu pagi sekitar jam 06.00 (1/6), aku mendengar kabar lewat telepon, adikku, Aipda Sugiyantoro, meninggal dalam tugas. "Mbak Tut, Mas Toro (panggilan Sugiyantoro) tertembak kepalanya," begitu kabar dari adikku yang lain. Aku langsung histeris. HP kukasihkan suami.
Bersama suami, aku ke rumah sakit di dekat TKP di kawasan Jati Rangon, tempat jenazah disemayamkan. Sesampai di sana memang benar, jasad Toro sudah di kamar jenazah. Aku memberanikan diri melihat keadaannya, sementara istri Toro, Giah Lestari, yang juga sudah tiba di sana, kulihat begitu lemas. Giah didampingi adik ipar, tampak begitu syok. Kulihat wajah Toro berlumuran darah. Ada lubang bekas peluru kecil di bawah mata. Rasanya enggak percaya.
Setelah diotopsi di RSCM, jasad Toro hari itu juga dimakamkan di pemakaman Poncol, Bekasi. Banyak pelayat datang, tapi aku enggak memperhatikan. Pikiranku enggak karuan. Selama ini, hubungan kami sekeluarga sangat dekat. Aku anak ke-3 dari 7 bersaudara dan Toro anak ke-4.
Kebetulan kami tujuh bersaudara, sebagian besar tinggal di Bekasi. Hanya Toro yang jauh, dia tinggal di Cikarang Baru. Sebulan sekali, kami membiasakan diri untuk bertemu. Wah, suasananya begitu meriah. Apalagi Toro, dia suka sekali bercanda. Saat aku hamil anak ke-3, Toro suka sekali ngledekin. Katanya, "Sebentar lagi bakal punya keponakan lagi."
Rupanya, aku hamil di luar kandungan. Aku belum lama ini menjalani operasi. Jadi, sebenarnya aku yang sakit, sementara kondisi Toro segar bugar. Makanya, kami sekeluarga tak percaya, dia begitu cepat pergi. Baru belakangan aku tahu, dia waktu itu tengah bertugas sampai dinihari. Dia melihat sebuah mobil yang mencurigakan diparkir di suatu tempat. Toro langsung menghampiri. Tanpa diduga, orang jahat di dalam mobil, langsung menembak Toro.
Aku masih ingat betul, tiga hari sebelum kepergiannya, kami masih bertemu. Ceritanya, adik bungsuku yang lelaki, akan menikah tanggal 11 Juni ini. Acara resepsi pernikahan diselenggarakan di kediaman keluarga istri. Nah, tanggal 18 Juni, rencananya keluarga akan mengadakan acara ngunduh mantu. Kami sekeluarga bagi tugas. Aku dan istri Toro, kebagian tugas mengurusi katering. Hari Minggu itu, dengan mobilnya Toro mengantarkan aku dan istrinya ke Klender, tempat katering. Kami memastikan menu apa saja yang perlu disiapkan. Sepanjang perjalanan, dia terus bercanda.
Setelah kejadian ini, kami sekeluarga sepakat acara ngunduh mantu ditiadakan. Rasanya tak elok di tengah duka, kami malah punya hajat. Namun, untuk acara resepsi di kediaman pihak mempelai putri, terus berjalan. Sebab, undangan sudah telanjur disebar.
Tentu banyak kenangan manis selama Toro masih ada. Dia memang bercita-cita jadi polisi. Tamat SMA, dia mendaftar ikut Secaba. Dia senang sekali ketika diterima. Lalu, dia menjalani pendidikan di Lido Sukabumi. Kami sekeluarga tahu, tugasnya sebagai polisi berat. Apalagi dia di unit Curanmor, harus menghadapi orang jahat. Pernah, sih, sesekali dia cerita tentang tugasnya. Terkadang, dia sempat cemas juga. tapi, dia tetap menjalankan tugas dengan baik. Aku tak menyangka, ternyata kekhawatirannya beralasan. Dia meninggal dalam tugas. Selamat jalan, adikku.Henry