Agar brand warung seafood- nya cepat dikenal, Machsun juga fokus mencari nama yang unik untuk warungnya. Akhirnya terpilihlah nama "Cak Gundul". Nama ini ia yakini bisa menjadi daya tarik buat pembeli. Agar selaras dengan "nama barunya", penampilan fisiknya harus menyesuaikan alias rela rambut dibikin plontos. "Masak nama restonya Cak Gundul, tapi orangnya berambut gondrong? Kan, tidak lucu," kata Machsun sambil tertawa.
Setelah maju, ia tak lagi berjualan di kaki lima, melainkan bisa membeli bangunan permanen yang lumayan megah, yang ia tempati hingga kini. Pasokan kepiting pun Machsun tak hanya mengandalkan dari Sidoarjo dan sekitarnya saja, bahkan sampai harus mendatangkan dari Papua, Kalimantan dan Sulawesi. "Terutama jenis supercrab, yang satu ekornya mencapai berat 2 kilogram, itu tidak ada di Jawa."
Machsun mengaku, banyak sekali yang minat membeli waralaba usahanya. Namun, ia merasa kurang cocok dengan sistem itu. Sebagai perluasan usaha, ia memiliki buka cabang di berbagai daerah seperti di Jakarta, Semarang, Yogjakarta dan Surabaya. "Setiap cabang dipegang kerabat, dan perkembangannya makin hari makin bagus," papar Machsun yang juga melibatkan sang istri dalam mengatur keuangan perusahaan.
Untuk menjaga mutu, Machsun tetap mengirim pasokan kepiting ke setiap cabangnya lewat jalan darat untuk kawasan Jateng, dan kargo udara untuk cabang yang ada di Jakarta. "Saya sengaja tidak beli kepiting dari daerah asal cabang, demi menjaga kualitas." Bila sedang ramai pengunjung, Machsun bisa membutuhkan hingga 4 ton kepiting per bulan. Per porsi menu kepiting kecil harganya Rp 120 ribul, sedangkan untuk jenis supercrab, harganya Rp 350 ribu. Dan, setiap bulan Machsun mengaku bisa meraih laba sekitar Rp 250 juta.
Gandhi Wasono M