Setelah terbentuk kelompok, aturan pun diberlakukan. "Siapa yang bisa membuat produk baru, desainnya dibeli kelompok. Harganya antara Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Tergantung desainnya. Nah, bila desain baru itu dipamerkan lalu ada pesanan, maka si desainer mendapat royalti sekitar 7-10 persen dari total pesanan. Dengan cara itu, ibu-ibu akan lebih kreatif mencipta desain baru. Habis, kalau ada barang baru keluar, pasti akan banyak tiruannya."
Berhubung bahan bakunya terbatas, Ari mengaku kelompoknya juga mau membeli limbahnya, "Kami bisa membeli yang lembaran maupun potongan. Syaratnya harus sudah dicuci bersih. Yang lembaran per kilonya bisa laku Rp 2 ribu. Yang sudah bentuk rajangan tipis, per kilonya Rp 6-10 ribu. Tapi potongannya harus rapi dan sudah dipisah berdasar warna, ya. Saya sendiri membuat tas berdasarkan warna, sebab saya kombinasi dengan batik. Kalau warna limbahnya campuran, motif batiknya tak bisa menonjol," terang mantan guru SD ini.
Dengan memanfaatkan limbah, kini ibu-ibu semakin giat mengedukasi masyarakat di sekitarnya bahwa sampah plastik bisa bernilai. "Memang lingkungan jadi agak bersih, tapi belum sepenuhnya kampung kami bebas dari limbah plastik. Belum semua bergerak. Masih harus terus dikampanyekan dan disadarkan, limbah rumah tangga mereka itu ada harganya."
Nove, Rini / bersambung