"Pas kecil saya tidak berprestasi. Rangking saya kedua sampai ketiga dari bontot. Saya selalu ketar-ketir setiap tahun akan naik kelas enggak. Tapi berubah setelah diterima di Sekolah Pariwisata Santa Theresia, Menteng," kenang Marissa yang ditemui di kediamannya di sebuah apartemen di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. "Tiba-tiba semua make sense dan bisa dijelaskan, dan saya mengerti yang dijelaskan. SD dan SMP kan kebanyakan teori, enggak ada konteksnya, cuma ngapalin sejarah. Pas masuk sekolah tourism, semua sangat teknis, soal bandara detail, ticketing, cargo, cara menjadi tour guide, semua make sense, yang akan praktekkan di dunia kerja. Prestasi saya membaik, rangking 16. Saya jadi termotivasi. Lulus SMA saya ranking 3," lanjut Marissa secara khusus kepada tabloidnova.com.
Kalau diingat-ingat, Marissa merasa dirinya saat ini adalah hasil dari kepercayaan seorang sahabat baiknya di SMP. Sang sahabat lah yang lantas membangun kepercayaan diri Marissa dalam belajar dan bahkan dengan rela membantu mengajari Marissa. "Dia pintar, selalu ngajarin saya bahasa Inggris dan Aljabar. Sejak itu saya merasa, gila, ternyata ada perempuan pintar yang tidak menganggap saya sebagai orang yang bodoh. Biasanya kan kalo di sekolah grup pintar sendiri, bodoh sendiri, geeky sendiri. Saat itu saya merasa ada yang percaya sama saya dan itu bikin saya semangat banget sampai sekarang."
Tapi justru binaan dan kepercayaan dari sang sahabat lah yang mampu menarik Marissa keluar dari kesulitan belajar. Alhasil, sejak menyelesaikan pendidikan tingkat atas, Marissa mengalami banyak kemudahan dalam proses belajar. Marissa bahkan mampu menyelesaikan kuliah S-2nya di Negeri Kanguru, Australia. "Tadinya saya cita-cita jadi pramugari. Pernah melamar ke Singapore Airlines waktu masih kuliah semester 6, tapi ditolak. Akhirnya saya nerusin kuliah dan saya lanjut ke Sydney University ambil jurusan Media," ungkap Marissa.
Yetta / Tabloidnova.com