Balada Bunda Alanda (1)

By nova.id, Senin, 14 Februari 2011 | 17:07 WIB
Balada Bunda Alanda 1 (nova.id)

Balada Bunda Alanda 1 (nova.id)

"Tulisan Alanda di blog pribadinya menghebohkan dunia maya (Foto: IST) "

Alanda Kariza (19) begitu terpukul mendengar ibunya, Arga Tirta Kirana, dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 10 Miliar. Tuduhannya terkait soal pengucuran kredit yang belakangan macet di Bank Century. Padahal, di mata Alanda, ibunya hanya menjalankan perintah atas "kredit komando" itu. "Yang harus bertanggung jawab atas kredit macet itu, kan, yang memberi komando. Sementara Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim (pemilik bank, Red.) hanya mendapat hukuman 8 dan 6 tahun."

Di satu sisi, sebagai anak, ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya kelak jika ibunya dipenjara selama itu. Apalagi, adik-adiknya, Aisya (8) dan Fara (5) masih sangat memerlukan kehadiran ibunya. Alanda yang punya mimpi membahagiakan ibunya karena tahu bagaimana sang ibu harus banting tulang menghidupi keluarga setelah bank tempatnya bekerja dilikuidasi, mencurahkan seluruh isi hatinya di blog pribadinya, www.alandakariza.com, berjudul Ibu, 10 Tahun Penjara, 10 Milyar Rupiah, Senin (8/2) tengah malam.

Ternyata, goresan hati Alanda membangkitkan simpati dan dukungan. Bahkan, tulisan Alanda sempat menghebohkan dunia maya. Sidang Arga yang biasanya sepi kamera, Kamis (10/2) lalu dipenuhi puluhan wartawan. Maklum, sejak tulisannya jadi buah bibir, Alanda jadi buruan wartawan. Ia pun telah menyanggupi hadir menjadi narasumber di sejumlah stasiun TV.

Di sela-sela sidang pembacaan pembelaan sang bunda, Alanda yang siang itu menghadiri sidang ditemani belasan teman-teman kampus, keluarga, serta kolega ibunya, menuturkan isi hatinya.

Sudah menduga tanggapan di blog bakal seramai ini?

Tentu dengan mem-posting tulisan itu, ada harapan dapat tanggapan. Tapi, tidak menyangka bakal seramai ini.

Selain di Twitter, kabarnya banyak menerima ucapan simpati dan dukungan lewat SMS dan e-mail?

Ya. Saking banyaknya, ada yang belum sempat saya balas. SMS, sih, tak terhitung. Kalau e-mail, ada sekitar 500-an yang masuk. Karena sejak pagi, Selasa (8/2) saya harus mendampingi Ibu untuk urusan penting, baru sorenya saya bisa balas e-mail dan SMS satu persatu.

Ada rencana mem-posting tulisan berikutnya?

 Belum ada, sih. Belum ada rencana. Saya masih konsentrasi pada nasib ibu saya.

Tulisan sebagai ucapan terima kasih, misalnya?

Sebenarnya saya sudah membalas ucapan terima kasih secara pribadi kepada semua orang yang mendukung dan memberi simpati. Jadi, belum terpikir membuat tulisan lagi.

Di awal pledoi (pembelaan) tadi, ceritanya sangat menyentuh. Ikut terlibat menulis pledoi itu?

(Di awal pledoinya, Arga menceritakan secara runut bagaimana perjuangannya setelah di PHK dari bank tempatnya bekerja. Arga sempat berjualan bahan-bahan baju muslim dan air galon. Sayangnya, dagangan habis, namun uang tak terkumpul lantaran banyak yang tidak bayar. Lewat seorang teman, Arga juga sempat mencoba kerja di jasa properti sebelum akhirnya kerja di Bank Century yang malah membuatnya harus berusan dengan hukum.)

Enggak sama sekali. Ibu menulis sendiri. Kalau, toh, konsultasi soal pledoi, ya, dengan pengacaranya. Saya bahkan belum membaca pledoi Ibu sebelumnya. Makanya, saya sangat menyimak apa yang dibacakan Ibu tadi.

Rupanya Ibu juga pandai menulis, ya?

Sebenarnya, sih, enggak. Tapi karena ia merasa terzalimi dan menulisnya dengan hati, maka yang dihasilkan pun benar-benar bagus.

Jangan-jangan itu pula yang membuat tulisan Anda di blog begitu menyentuh?

Saya menulis karena hanya itu yang bisa saya lakukan. Saya menggugat, kenapa ibu saya tidak bersalah tapi harus bertanggung jawab. Saya hanya ingin sharing bahwa ada, lho, seorang warga yang diperlakukan seperti ini. Saya hanya ingin masalah yang menimpa Ibu ini jadi pelajaran untuk semua orang. Dan ternyata, banyak kasus serupa di masyarakat. Bahkan ada yang lebih parah dari Ibu. Saya tahu dari tanggapan yang masuk. Saya ini tak tahu hukum. Saya hanya menulis berdasarkan apa yang saya ketahui.

Dalam tulisan, terkesan sekali sangat khawatir ditinggal Ibu?

Ya pastilah. Saya saja khawatir ditinggal Ibu, apalagi adik-adik saya yang masih kecil. Yang bungsu masih TK. Bagaimana kehidupan kami kalau benar Ibu dipenjara? Saya tak bisa bayangkan jika kami harus hidup tanpa Ibu.

(Meski dituntut 10 tahun penjara, sampai saat ini Arga tidak dipenjara. Ia dapat menghirup udara bebas karena ada jaminan keluarga. Sementara menurut jaksa, Arga tidak ditahan karena memang belum ada putusan)

Sepertinya sangat tertekan, ya, saat menulis itu. Apalagi, posting-an kali ini begitu pribadi dibanding tulisan lain yang sudah ada.

Hmm... saya hanya merasa khawatir. Itu saja. Tapi jujur, apa yang saya tulis, itu yang saya rasakan. Saya bukan ahli hukum. Makanya tulisannya apa adanya. Yang saya ketahui, yang saya rasakan.

Berapa lama menyiapkan tulisan itu?

Cepet, kok, hanya 1-2 jam. Sekitar jam 24.00 saya posting.

(Kemudian Alanda men-twit dan memberi link tulisan itu: "Baru selesai ditulis". Itu saja yang dilakukan Alanda tanpa ada "provokasi" agar dibaca. Meski demikian, dampak dari tulisan itu luar biasa. Bahkan, di blog itu tercatat 13 ribu lebih orang yang ikut mentwit tulisan itu. Yang me-retweet, tak terhitung)

Selama ini sering dicurhati Ibu soal kasus yang menimpanya?

Sama sekali tidak. Ibu tidak pernah mengajak saya diskusi soal Century. Paling Ibu bicara dengan Papa. Ibu hanya minta kami belajar dan salat yang rajin. Juga berdoa agar masalah ini cepet selesai. Tapi memang sejak kasus ini mencuat, Ibu dan Papa sering pulang malam. Jadi, kesempatan untuk bertemu dengan kami juga jadi jarang.

Jika orang tua sering pulang malam, Anda berperan mengantikan mereka di rumah?

Ya, pasti! Saya memang harus mengawasi adik-adik. Tapi tak boleh menggangu kuliah saya. Paling mengawasi saat adik-adik belajar.

 Sukrisna / bersambung