Mengintip "Dapur" Batik Edward Hutabarat

By nova.id, Minggu, 2 Januari 2011 | 17:05 WIB
Mengintip Dapur Batik Edward Hutabarat (nova.id)

Mengintip Dapur Batik Edward Hutabarat (nova.id)
Mengintip Dapur Batik Edward Hutabarat (nova.id)

"Para pengrajin di workshop batik Cahaya (Foto: Franka) "

Batik "Kampung"

Eksplorasi Edward tidak hanya berhenti pada pengrajin yang sudah terkenal. Pria kelahiran 31 Agustus 1958 ini kadang juga berkunjung ke desa pembatik rumahan, seperti Desa Pegandon Kidul. Di desa ini, para pembatik wanita berusia 30-70 tahun membuat batik dengan alat minim dan tanpa penerangan di rumahnya. Mereka membuat motif sendiri dan bekerja dengan jadwal yang diatur sendiri. Tidak heran motif yang dihasilkan cenderung seragam dengan detail yang ramai. "Ini namanya batik kampung," ujar Edward. Para pembatik yang tak mampu membeli kain Mori akan dipinjamkan kain oleh pengepul (pengumpul) batik, dengan syarat mereka hanya akan menjual batik tersebut ke si pengepul. Batik mereka dibeli oleh pengepul dari harga Rp 150-500 ribu. Satu helai batik bisa dikerjakan selama 2 bulan. Meski karyanya dihargai rendah, para wanita itu terlihat begitu berdedikasi membuat batik.

Melalui perjalanan ini, Edward membuka mata kita, betapa batik bukanlah hanya selembar kain. Batik adalah perwujudan dari kesabaran, kerja keras dan cinta kasih dari pembuatnya yang diekspresikan melalui motif yang tercipta.

Franka