Jujur saja, sejak Jane kecil, kami memang memanjakannya. Apa saja kemauannya selalu kami penuhi. Jane tahu, kami amat menyayanginya. Ia juga tahu banyak cerita indah dan berkesan tentang dirinya saat ia masih kecil. Misalnya, saat aku menggendongnya ketika mengobatinya di Australia. Meski capek menggendongnya, aku tetap bercanda dengannya yang saat itu masih begitu mungil dan lucu. Begitu asyiknya bercanda sampai tak merasa, jam tangan yang kukenakan hilang entah di mana. Jane pasti ingat cerita itu.
Hubungan kami memang amat dekat. Meski ada babysitter, aku selalu berusaha mengasuhnya sendiri. Babysitter hanya membantu mengantar dan menjemput Jane ke sekolah hingga ia tamat SMP. Menginjak SMU, Jane mulai diantar jemput sopir pribadi. Sadar akan kekurangan Jane, ketika kuliah di Amerika ia selalu bersama kakak laki-lakinya, baik pergi maupun pulang kuliah. Setelah dua tahun tinggal di Amerika, Jane pun akhirnya bisa membawa mobil sendiri ke kampusnya.
Meski dipisahkan jarak, hubungan kami tetap dekat. Tiap hari kami ngobrol lewat dunia maya. Di usianya yang 22 tahun, dengan segala kekurangannya, terkadang Jane masih tampak belum dewasa layaknya gadis seumurnya. Karena itulah aku menganggap apa yang terjadi saat ini padanya, semua yang berhubungan dengan Alterina, amat sangat kusesalkan.
Tahun 2007, aku beserta suami dan Jane bertemu Alterina kembali di Singapura. Saat itu Alterina telah berganti penampilan sebagai laki-laki. Alterina pun saat itu mengatakan dirinya baru saja operasi kelamin menjadi laki-laki. Di Singapura itulah Jane kuperkenalkan kepada Alterina. Kemudian kuketahui keduanya pun menjalin hubungan.
Swita Amalia Hapsari / bersambung