Di malam yang sunyi senyap, kentongan pos ronda Dukuh Sawangan, Hargobinangun, Sleman, berbunyi riuh. Bukan karena ada pencuri. Bukan pula karena Merapi sedang batuk. Itu adalah "alarm" untuk menunjukkan pukul 03.00, saatnya ibu-ibu harus segera ke Pos Pengungsian Hargobinangun.
Inilah rutinitas ibu-ibu PKK Desa Hargobinangun setelah Merapi dinyatakan Waspada. Setiap hari mereka harus bangun sepagi itu untuk menyiapkan sarapan sekitar 4.500 pengungsi bencana Merapi. "Kami harus racik-racik sayuran," kata Mbah Rusinah (66). Hari itu, Kamis (28/10) adalah jatah Mbah Rusninah beserta sekitar 30 anggota ibu lainnya untuk "piket" di posko pengungsian.
Secara bergilir, Mbah Rusinah dapat jatah 12 hari sekali. Pembagian ini didasarkan jumlah dukuh di kelurahan Hargobinangun. Hanya saja, karena kampung Sawangan berseberangan dengan Posko Pengungsian, maka hampir setiap hari Mbah Rusinah membantu di dapur umum.
Dalam sehari, para ibu-ibu PKK ini harus menyiapkan 3 kali makan. "Ada, sih, yang kerja dari pagi sampai sore, tapi ada juga yang pulang siang. Bergantian dengan yang lain," kata Sri yang sejak bencana Merapi 2006 lalu sudah menjadi sukarelawati di dapur umum pengungsian. "Ya, gimana lagi, masak kami tidak ikut membantu? Toh, yang jadi korban juga saudara dan tetangga sendiri," tambah Sri yang mengaku tak keberatan harus bangun jam 03.00 pagi. "Ya, susasananya malah kayak bulan puasa. Harus masak pagi-pagi buta."
Selain dibagikan pada pengungsi yang tinggal di gedung SD Hargobinagun, nasi bungkus itu juga dibagikan ke pengungsi yang tinggal di rumah penduduk. Untuk mendistribuskan ke rumah-rumah, mereka dibantu anak-anak muda.
Ibu-ibu ini juga terlihat sangat tanggap dan sigap. Seperti Kamis (28/10) pagi lalu, tiba-tiba ada sisa tempe yang sudah mulai layu dalam jumlah cukup banyak. Padahal, racikan lauk untuk hari itu sudah disiapkan."Kita bikin kering tempe saja untuk lauk besok pagi," teriak seseorang. Seperti dikomando, mereka pun ramai-ramai mengiris tempe dan langsung menggorengnya.
Para ibu memang membantu dengan tulus dan tanpa pamrih. Mereka bekerja tanpa dibayar. Bahkan, tak terlihat mereka ikut makan di tempat itu. Saat pulang pun hanya menenteng pisau dapur, "senjata" mereka. Ini sangat kontras dengan perusahaan, partai, atau lembaga lain yang selalu ikut "memeriahkan" setiap kali ada bencana. Belum menyumbang saja, sudah pasang spanduk dan umbul-umbul di mana-mana untuk "pamer" bahwa mereka menyumbang...
Sita, Krisna