Soal kurangnya perhatian, diungkapkan penari topeng Indramayu, Wangi Indria (49), "Sejak tahun 1990-an, tari topeng tergeser oleh munculnya organ tunggal. Untung kami bisa bertahan hidup dengan cara lain, yaitu bekerja di ladang. Saya juga memberi les tari topeng kepada anak-anak supaya tarian ini tidak punah," tuturnya.
Tak hanya penari topeng, seniman pembuat topeng Abas Roni (35), yang terlibat dalam pemecahan rekor pembuatan 5000 topeng ini pun terpaksa kerja sampingan, menerima cetak undangan sampai berjualan kecap. "Dengan cara itu saya bisa membeli bahan baku pembuatan topeng dan membantu anak-anak putus sekolah di lingkungan saya untuk belajar membuat topeng," terang Abas.
Wangi dan Abas hanyalah potret buram nasib seniman topeng yang seharusnya mendapat perhatian dan bantuan untuk mempertahankan seni tradisi leluhur dan mengembangkannya demi ketahanan satu sisi budaya bangsa. Wajar, bila mereka berharap ingin tetap hidup dan menghidupi seni topeng agar tetap lestari. "Kalau ingin seni topeng tetap hidup, ya harus diupayakan. Buatlah supaya masyarakat menyukai kesenian ini, dan nanggap senimannya!" harap Wangi dan Abas.
Sita Dewi