Yang membuatku sedih, musibah ini terjadi justru di saat ia menjelang pensiun. Umur suamiku kini 50 tahun, jadi sekitar lima tahun lagi masa pensiun itu tiba. Sebagai persiapan mengisi masa pensiun, tiga tahun lalu ia mengajak kami pindah dari Kosambi ke sini. Rumah lama kami jual Rp 40 juta dan sebanyak Rp 27 juta dibelikan rumah yang kami tempati sekarang ini. Lantainya memang masih tanah tapi suamiku senang karena bisa mendapat tanah seluas 200 meter pesegi. Di halaman rumah inilah suamiku suka bercocok tanam.
Sebagai masinis, penghasilan suamiku memang hanya cukup untuk hidup sebulan. Sebelum ada musibah ini, di kala senggang ia rajin menanam tanaman bunga dan tanaman obat. Ada lengkuas, jahe, kunyit, dan lainnya. Ia pernah berandai-andai, jika pensiun nanti, akan bercocok tanam saja sambil mengasuh cucu.
Kini, hari-hari terasa begitu lambat berjalan. Aku terus menanti kepulangan suamiku. Entah kapan ia akan pulang. Hatiku sering teriris jika cucu kami bertanya, "Kapan, sih, Abah pulang?" Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Salah satunya, apa betul suamiku sedang dalam keadaan tidak prima sehingga kecelakaan itu terjadi seperti yang kini disangkakan kepadanya? Setahuku, kondisinya baik-baik saja. Ia tidak dalam keadaan sakit atau mengantuk.
Tapi entahlah, musibah sudah terjadi dan aku yakin itu karena kehendak Yang Kuasa. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk suamiku. Dan seandainya memang betul semua ini karena kesalahan suamiku, sebagai istrinya aku mohon maaf kepada keluarga korban. Aku juga senantiasa berdoa, semoga arwah para korban tenang di sisi-Nya.
Penantian Panjang Slamet Bintaro
Masinis yang juga pernah duduk di kursi pesakitan dan divonis lima tahun penjara adalah Slamet Suradio. Lelaki ini dinyatakan bersalah telah menghilangkan 156 nyawa ketika kereta api yang dikemudikannya bertabrakan dengan kereta lain yang kemudian dikenal dengan Tragedi Bintaro (1987).
Usai menjalani hukuman, Slamet diberhentikan sebagai masinis. Seakan belum cukup penderitaannya, istri Slamet menikah dengan rekan sesama masinis. Akhirnya Slamet memilih kembali ke kampung halamannya, Dusun Krajan Timur, Purworejo, Jateng.
Di situ ia mencoba memulai hidup baru dengan menikahi Tuginem (40) dan dikaruniai 3 anak. Kini, di usia 71 tahun, ia hidup bersahaja. Aliran listrik saja diperoleh karena kebaikan hati tetangganya. Sang istri yang lebih banyak menopang kehidupan keluarga ini, kendati hanya sebagai buruh tani yang pendapatannya tak seberapa.
Di dusun itu, "Saya disapa Slamet Bintaro. Ya, untuk membedakan dengan Slamet-Slamet lainnya," katanya sambil tersenyum. Meski sudah berusaha melupakan kenangan buruk, Slamet mengaku masih trauma jika mendengar kabar kecelakaan kereta api. "Rasanya kayak mengalami lagi," kata Slamet. Usai kecelakaan, Slamet sempat dirawat dan mesti 3 kali pindah rumah sakit (RS Pelni, RSCM, lalu RS Kramat Jati) demi alasan keamanan, karena banyak keluarga korban yang ingin membalas sakit hati kepadanya.
Selama di RS pula, kata Slamet, ia terus dicecar pertanyaan yang menyudutkan dari para penyidik. "Tapi saya tetap menjawab, kereta saya jalankan setelah dapat sinyal aman saat masuk Bintaro. Ya, sudah nasib saya begini, mau diapakan?"
Kekecewaan Slamet pada perusahaan tempatnya mengabdi, memang amat besar. Selain diberhentikan, ia juga tak memperoleh pensiun. Toh, kecintaannya pada profesi masinis, tetap terlihat dari cara ia menyimpan surat-surat penting, seperti tanda pengenal masisnis hingga kliping berita Tragedi Bintaro. Bahkan dokumen itu sering dibawanya saat ia berjualan rokok. Slamet yakin, surat-surat berharga itu suatu saat bisa memberinya peluang untuk memperoleh uang pensiun. "Saya pernah dapat penghargaan sebagai masinis teladan," ungkapnya bangga.
Henry Ismono, Tarmizi