Selain eksploitasi air tanah yang besar-besaran, sejumlah aspek lain juga mempengaruhi kondisi Jakarta. "Di berbagai wilayah Jakarta terjadi penurunan permukaan tanah, " jelas pakar Gempa dari Puslit Geoteknologi LIPI, Dr. Danny Hilman Natawidjaja , M.Sc (46). Tingkat penurunannya beragam, antara 14-15 milimeter setiap tahunnya. Kondisi ini, kata Danny, sebetulnya sudah diprediksi sejak beberapa tahun silam. "Salah satu penyebabnya, bertambahnya jumlah bangunan sementara tanah punya daya dukung maksimum. Kalau sudah enggak sanggup, ya, jadi turun."
Jika dikaitkan dengan kecelakaan geoteknik saat ini, penyebabnya masih tanda tanya karena masih butuh penelitian lebih lanjut. Namun, apa yang terjadi di Jakarta ini, seperti hilangnya sebagian Jl. R.E. Martadinata, "Tidak berhubungan dengan gempa yang beberapa kali ini terjadi di Indonesia!"
Tak bisa lain, tegas Danny, solusi cepat dari pemerintah menghadapi persoalan ini sangat diperlukan. "Harus ada pemetaan yang mendetail dari sifat geotekniknya. Apabila sudah dilakukan pemetaan, baru bisa dicari solusinya supaya tidak merusak alam yang sudah rusak."
Sementara Direktur Eksekutif Walhi, Berry Nahdian Forgan mengemukakan, di wilayah pesisir utara yang dekat dengan laut, proses kerusakan lingkungan yang diakibatkan rob atau air pasang makin meluas, dan drainase yang buruk karena banyak industri, penyurutan air tanah jadi tinggi. "Berbagai faktor inilah yang menempatkan Jakarta Utara sebagai posisi yang paling rawan. Reklamasi pantai di sana, yang semula sebagai daerah resapan, membuat daerah resapan jadi hilang."
Daerah rawan berikutnya, kata Berry, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Sementara Jakarta Timur termasuk memiliki potensi tenggelam karena menjadi kawasan industri.
Mulai dari Ibu Rumah Tangga
Isu Jakarta terancam tenggelam tak urung membuat para ibu cemas. Tak terkecuali Rose Setiawan, manajer penjualan produk perlengkapan dan perawatan bayi yang tinggal di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Agar Jakarta tak benar-benar tenggelam, kata pendiri Komunitas Hijau Pondok Indah ini, ia selalu berkampanye agar warga Jakarta mulai membuat biopori, memilah sampah rumah tangga, dan mulai gencar mensosialisasikan stop konsumsi air tanah agar tidak semakin memperburuk kondisi Jakarta.
"Jujur, saya sangat khawatir apabila Jakarta akan benar-benar tenggelam karena memang Jakarta itu, kan, titipan untuk dipinjamkan. Jadi, kalau kita tidak bisa menjaga dan merawatnya, kasihan generasi penerus, dong!"
Kekhawatiran yang sama juga memenuhi benak Tres Gito, ibu rumah tangga yang tinggal di Menteng, Jakarta Pusat. Aktivis lingkungan hidup ini berpendapat, pembangunan gedung menjulang tinggi di Jakarta yang serasa tiada henti, mengakibatkan habisnya air tanah dan lebih jauh menyebabkan penurunan permukaan tanah di Jakarta. "Kalau air tanahnya habis diserap, tanah jadi amblas," terangnya.
Maka, sebagai ibu rumah tangga, Tres berharap ibu-ibu lain juga turut berpartisipasi agar tercipta kelestarian lingkungan, demi mencegah menipisnya persediaan air tanah. Misalnya, dengan mengurangi sampah plastik atau membuat biopori di halaman serta lingkungan rumah masing-masing. "Mungkin yang dilakukan para ibu rumah tangga tak seberapa, tapi pada akhirnya hasilnya akan mengejutkan."
Sukrisna, Edwin, Henry, Swita
Foto: Lucky Fransiska - Kompas Daily