Kehilangan buah hati, pastilah membuat seorang ibu berduka. Begitu pula dengan Ny. Rifki (bukan nama sebenarnya), yang sudah beberapa waktu ini tak tahu di mana gerangan Tuti (17), salah satu dari lima anaknya. "Sebagai ibu, sudah pasti saya sedih. Tapi saya yakin, dia akan kembali. Apalagi, sudah dua kali saya mimpi bertemu dia. Dalam mimpi, Tuti bilang mau pulang," kata warga Depok, Jabar ini.
Tuti, kata Rifki, termasuk anak penurut dan tidak pernah membuat masalah. Bahkan selalu membanggakan ayah dan ibunya. "Dia kritis dan pintar. Kalau berdebat dengannya, pasti seru," ujar sang bunda bangga.
Anak mama yang manis ini kemudian berubah sejak tiga tahun silam. Persisnya setelah ia mulai menyukai seseorang. "Saya larang karena dia, kan, masih di bawah umur. Nah, sejak saat itu dia berubah." Meski tak menjelaskan siapa dan apa yang diperbuat sang putri, tersirat dari ucapannya, yang dimaksud adalah Sj, teman baru sekaligus guru taekwondo Tuti.
"Percuma saya ngomong tentang dia karena pasti dibantah terus oleh Sj." Yang jelas, lanjut Rifki, kedekatan antara Tuti dan Sj yang sesama perempuan, membuat Rifki khawatir. "Sudah dinasehati berulangkali, enggak mempan."
Tertutup Lalu Kabur
Yang kemudian terjadi, kata Rifki, malah komunikasinya dengan sang buah hati makin memburuk, bahkan buntu. Hingga pada suatu hari di tahun 2009, Tuti dan Sj pergi berdua selama seminggu. "Entah ke mana. Untung Tuti masih mau kembali ke rumah." Khawatir anaknya pergi lagi bersama teman wanitanya itu, Rifki minta bantuan Komnas PA untuk menjembatani dan memperbaiki hubungan ibu-anak ini. Hasilnya, 11 Mei 2010 silam, Komnas PA menitipkan Tuti ke Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) di Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur. Gadis itu tak keberatan lantaran percaya Komnas PA hanya sementara waktu saja menempatkannya di RPSA.
Dua bulan pertama di RPSA, Tuti yang anak seorang pegawai swasta ini amat terbuka dengan para psikolog dan pekerja sosial yang membantunya menyelesaikan masalah dengan orangtuanya. Juga masalah perbedaan pandangan mengenai orientasi seks. Selama dititipkan di RPSA, kata Rifki, "Saya rajin menjenguknya. Bisa sampai empat kali dalam seminggu dan komunikasi kami lancar," kisah Rifki yang juga membawakan buku-buku pelajaran dan guru privat agar anaknya tak ketinggalan pelajaran. Guru privat itu juga berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara Rifki dan Tuti.
Entah apa sebabnya, sejak Juli lalu Tuti seperti mulai membatasi diri berkomunikasi dan bergaul dengan petugas RPSA serta teman di ingkungan itu. Tuti juga mulai menolak pendekatan-pendekatan yang dilakukan psikolog. Tapi yang paling mengejutkan, Sabtu (9/9) sekitar jam 17.55, Tuti kabur dengan taksi warna putih yang menjemputnya di depan RPSA. Petugas keamanan berusaha mengejar taksi itu, namun kehilangan jejak.
Hebohlah keluarga Rifki saat diberitahu perihal kaburnya Tuti. "Sekarang, yang saya khawatirkan adalah bagaimana nasib anak saya di luar sana? Saya tidak tahu di mana dia tinggal. Apakah di rumah orang atau malah di kolong jembatan? Saya ingin Tuti memberi kabar ke keluarga, saya begitu mengkhawatirkannya," ucap Rifki cemas. "Sekarang pikiran saya benar-benar blank."
Noverita K Waldan / bersambung