Mulutmu harimaumu. Begitu kata pepatah. Di dunia maya, hal itu juga berlaku. Berbagai kasus sudah membuktikan, tulisan yang kasar, kurang mengindahkan etika, menghina, dan lainnya, juga bisa menjadi "harimau" bagi diri sendiri.
Mohammad Wahyu Muharom (22), misalnya, pernah mengalami hal itu. Pemuda asal Jember, Jatim ini harus berurusan dengan pengadilan gara-gara memaki dan berkomentar berlebihan terhadap Tri Basuki, lewat akun FB-nya. Wahyu juga menuduh guru marching band-nya itu mencuri.
Persoalan yang terjadi tahun 2009 itu dipicu dari salah paham di antara mereka. Wahyu yang kadung emosi, lepas kontrol dan belakangan dilaporkan ke polisi oleh Basuki. Alhasil, PN Jember menjatuhkan hukuman percobaan selama tiga bulan dengan dakwaan penghinaan serta menyerang kehormatan dan nama baik Basuki.
Kasus lain menimpa mahasiswi Universitas Negeri Gorontalo, Tri. Ia harus berurusan dengan polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik Rahmat Pongoliu, brigadir dua polisi. Caci-maki Tri di akun FB-nya belakangan diketahui ditulis pacar Tri yang cemburu buta dan menduga Rahmat mendekati gadisnya. Pacar Tri yang memang tahu password akun FB Tri, kini terancam pasal pencemaran nama baik berdasar UU nomor 11 tentang ITE.
Tak cuma di FB, situs jejaring sosial Twitter juga sudah memakan korban. Microblogging yang postingannya hanya dibatasi 140 karakter ini, memungkinkan apa yang disampaikan tak bisa tuntas, lantaran karater huruf yang terbatas. Apalagi, tulisan tak memiliki intonasi. Masih ingat, bukan, kasus Luna Maya yang sempat dilaporkan ke polisi akibat menulis "sumpah serapahnya" soal infotainmen? Artis lain, Armand Maulana, sempat dihujat beberapa fans fanatik sebuah klub sepakbola gara-gara vokalis Gigi itu mengunggah foto diriya yang memakai kaus bergambar yang didinilai melecehkan klub tadi. Armand pun akhirnya minta maaf.
Jadi, berhati-hatilah berkomentar di dunia maya. Seperti disebutkan pengamat media sosial Enda Nasution, "Kalau kita enggak ngomong jelek di dunia nyata, maka seharusnya kita juga jangan ngomong jelek di dunia maya. Dunia maya seperti dunia kedua karena orang di dalam dunia itu umumnya juga kita kenal di dunia nyata. Bedanya, jangkauannya jauh lebih luas."
Sanksi bagi pemberi komentar yang "aneh-aneh" di FB, kata Enda, tergantung dari "kadar" tulisannya. "Jika melanggar UU seperti menipu, menebar ancaman, mengintimidasi, menyinggung SARA, jelas ada sanksi hukumnya. Kurang dari itu, bisa mendapat sanksi komunitas, jika dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut komunitasnya. Komunitas itu bisa sekolah atau institusi. Sanksi terendah tentu saja sanksi sosial, misalnya dihapus dari daftar teman seseorang," paparnya.
Toh, Enda tak terlalu setuju dengan "ancaman" Kepala Sekolah SMAN 2 Probolinggo terhadap lima siswanya. "Jangan sembarang mengancam atas nama pencemaran nama baik. Itu harus dibuktikan, apakah ada kesengajaan dan ada niat jahat? Janganlah perundangan digunakan untuk mengintimidasi," tegasnya.
Sekolah, lanjut Enda, posisinya adalah penyedia layanan. Artinya, siswa merupakan konsumen yang berhak dilindungi haknya jika tidak mendapat pelayanan maksimal. Kasus yang kemudian mendorong siswa untuk menumpahkan kekesalannya di FB, lanjutnya, seharusnya dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan dan kesempatan untuk melakukan dialog dengan siswa yang protes.
"Jangan melakukan intimidasi atas nama pencemaran nama baik. Bersikaplah lebih bijak dan jadikan protes siswa sebagai kesempatan untuk berdialog dan memberi pendidikan tentang berkomunikasi yang benar," ujar Enda sambil menyebut pentingnya juga keterlibatan orangtua dalam pendidikan penggunaan internet. "Jadi, pendekatannya justru terhadap anak, bukan terhadap teknologi. Pendidikan karakter dan agama jauh lebih penting."
Sita