Baru saja akan menyelesaikan transaksi, terdengar suara mirip ledakan. Ruang ATM sampai bergetar. Kami segera keluar dari situ dan tambah terkejut melihat sebuah mobil nyelonong begitu saja. Hanya dalam hitungan detik, dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat Dimas sudah tergeletak di lantai, di pojokan pilar. Seorang pria berusaha membopong tubuh kecil anakku. "Biar aku saja, Pak, yang mengangkat. Dia anakku," kataku kepada orang itu.
Kala itu, wajah Dimas dibasahii darah. Beberapa luka menggores di wajahnya, kena serpihan kaca. Bajuku sampai basah oleh darah. Yang terpikir olehku hanyalah secepat mungkin membawa Dimas ke rumah sakit terdekat. Aku minta tolong seorang pengendara mobil untuk mengantarku ke RS Mulia, yang jaraknya dekat dengan mal. Kalau perjalanan lancar, mungkin 10-15 menit sudah sampai, namun malam itu lalu lintas begitu macet. Kami baru sampai setengah jam kemudian, sekitar pukul 20.00.
Sepanjang perjalanan ke RS, aku bisa dengan lebih jelas melihat keadaan Dimas yang kutaruh di pangkuanku. Luka lebar menganga di beberapa bagian wajahnya. Aku begitu cemas melihat keadaan Dimas. Apalagi, napasnya tersengal. Dia seperti sedang menghadapi sakaratul maut.
Tak ada yang bisa kami lakukan saat itu kecuali terus berdoa semoga Dimas mendapatkan kekuatan. Adik Dimas yang takut melihat darah, memanggil-manggil kakaknya. Sampai di RS, kembali aku melihat napas Dimas tersengal. Dokter segera menangani anakku. Istriku terus mengawasi alat yang memonitor pernapasan Dimas. Makin lama napas Dimas kian melemah dan akhirnya, sekitar jam 21.00, anak sulung kami itu berpulang ke Sang Pencipta. Kira-kira jam 02.00, jasad Dimas sampai di rumah setelah dimandikan di RS. Keesokan paginya, ia dikebumikan di Pemakaman Taman Bahagia.
Sedangkan tante Dimas, Puput, belakangan kuketahui dibawa ambulans ke RS yang sama. Lukanya cukup parah. Ada perdarahan di belakang kepala. Syukurlah, sekarang kondisinya makin membaik. Ia sudah sadar. Kini, Puput dirawat di RS Cilandak.Henry Ismono/ bersambung