Namanya umur, memang hanya Tuhan yang tahu. Atin dan Imam tentu juga tak tahu, di saat mengikuti gerak jalan itu, sebetulnya maut mengintai orangtua dari Indah Sari Novianti (23) dan Yudith Andriani (20) ini. Dari 14 peserta gerak jalan yang menjadi korban karena ditabrak dari belakang oleh kendaraan Daihatsu Terios B 1198 BFX, yang dikendarai Kai Fin Tanoto (36). Atin merupakan korban terparah karena mengalami pecah pembuluh darah di kepala.
Musibah itu, cerita Imam, terjadi sekitar pukul 09.00 saat para peserta gerak jalan sudah hampir mencapai garis finish di Pintu Barat Senayan. "Tiba-tiba muncul sebuah mobil dan langsung menabrak barisan saya dan istri. Sejak kejadian itu, sampai istri saya dikubur, saya enggak melihat dia," ujar Imam yang belum dapat bergerak dari tempat tidurnya karena tulang pinggangnya remuk.
Mobil yang menabrak mereka, lanjut Imam, melaju sangat cepat sehingga ia tak mampu mengelak apalagi menyelamatkan sang istri. "Kalau diibaratkan gelombang, saya adalah korban gelombang yang kedua. Saat itu saya sedang memegangi tangan istri, mau mengajak dia naik ke trotoar supaya aman. Begitu mau naik trotoar, terdengar suara 'gruduk..gruduk'. Belum sempat menengok melihat sumber suara, saya terkena hantaman mobil dan langsung terguling-guling di trotoar."
Begitu tubuhnya terhenti, Imam merasakan tubuhnya tak bisa bergerak, "Saya lihat kiri dan kanan, mencari istri saya tapi tak bisa menemukan dia." Oleh panitia, Imam lalu dilarikan ke RSAL. Di rumah sakit itu, Imam terus berupaya mencari tahu keberadaan Atin. Baru tiga jam kemudian, "Saya tahu, ternyata dari tadi istri saya ada di sebelah saya tapi tertutup gorden jadi enggak kelihatan." Saat itu, "Dia sudah enggak sadar dan kemudian dirujuk ke RSCM." Sejak itu, Imam hanya mengandalkan telepon genggam untuk terus memantau kondisi istrinya. "Saya sengaja minta ke semua saudara agar tidak menyembunyikan apa pun seputar kabar istri saya. Sampai napas terakhir istri saya, saya terus menemani dia melalui telepon genggam."
Siomay Enak
Bahkan ketika semua mesin dan alat bantu di tubuh Atin dicabut karena sudah tidak ada harapan hidup lagi dan tak ingin Atin lebih lama menderita, Imam juga membisikkan kata-kata perpisahan untuk sang istri lewat telepon genggam yang ditempelkan di telingan Atin. Kala itu Imam mengatakan, merelakan kepergian sang istri menghadap Sang Khalik.
Air mata Imam meleleh perlahan. Lama ia terdiam sebelum melanjutkan kisahnya. "Hanya rekaman suara dia yang menjadi obat rindu dan membuat saya kuat menghadapi kenyataan ini. Sudah pasti saya sedih. Apalagi, akibat kecelakaan ini, paling tidak perlu tiga bulan untuk sembuh sehingga baru bisa menengok makam istri saya."
Beberapa waktu sebelum Atin pergi untuk selamanya, mendiang sangat antusias menyusun rencana pernikahan Indah yang rencananya bakal dilaksanakan tahun depan. "Ibu senang sekali dan sudah mengatur ini-itu, termasuk menghitung kebutuhan dana," tutur Indah. Berkali-kali sang ibu mengajaknya ke Stasiun Cikini, sekadar melihat toko yang menjual pernak-pernik dan keperluan pesta kawin. "Kalau nanti kamu libur, Ibu mau ajak kamu jalan-jalan ke Cikini, sekalian makan siomay. Enak, lho," begitu kata Atin pada Indah. Ternyata, tutur Indah, "Ketika gerak jalan itu, di tas Ibu ada siomay dua bungkus yang belum sempat dimakan," kenang Indah dengan nada sedih.
Edwin Yusman F/bersambung