Pasca konser, kondisi Egan makin parah. Berat badannya yang semula 55 kg menjadi 42 kg. Tubuhnya sangat kurus dan menyedihkan. Belum lagi radioterapi yang harus dilakukan Egan. Setelah kemo ke-4, hasilnya sangat mengejutkan, kankernya tidak mati, malah menyebar hingga ke tulang belakang. Tangannya lemas tidak bisa digerakkan.
Aku mencari dokter lain. Lagi-lagi dokter mengatakan kondisi Egan menunjukkan stadium akhir. Bahkan hidupnya divonis tinggal 10 persen. Kulihat Egan terkejut mendengar vonis itu. Anehnya, ia tak kehilangan harapan. Terus-terang, sebenarnya Egan lebih suka menjalani pengobatan dengan cara holistik. Tapi ia, kan, bukan pengambil putusan, harus mengikuti orangtuanya dan dokter.
Kami memutuskan membawa Egan untuk pengobatan sinshe di Jakarta selama 2 minggu. Setelah itu kembali ke Singapura. Lagi-lagi kondisi Egan makin buruk. Kankernya membesar dan sudah sampai pada engsel tangan kanan, tulang dada, dan pantat. Jalannya pun mulai pincang. Ia menangis ketika dokter bilang, hanya menunggu keajaiban. Belum lagi ketika dokter menyatakan sumsum Egan rusak dan tak dapat memproduksi darah merah lagi.
Aku tak kuat melihat Egan kesakitan. Terlebih bila ia mulai bertanya, "Ma, kenapa harus Egan yang sakit?" Atau bilang ke papanya," Egan sudah lupa, lho, rasanya enggak sakit." Duh, pedih sekali hati ini mendengarnya.
Kadang dalam hati aku bertanya, kenapa harus kami yang mendapat cobaan ini? Bayangkan saja, ia harus minum obat pembunuh rasa sakit, Egan hanya bisa tidur setelah disuntik. Tapi begitu bangun, ia akan kembali merasa kesakitan. Anehnya pada orang yang menjenguknya, Egan selalu mengatakan, " Kemarin agak sakit, tapi sekarang oke." Padahal, kami tahu, ia menahan sakit yang luar biasa. Begitulah, ia selalu ingin orang lain senang setelah mendengar keoptimisannya.
Terakhir aku membawanya berobat shinshe di Malaka. Hasilnya, wajah Egan justru memucat, kesadarannya menurun. Perut di bawah pusar pun keras membatu seperti akan pecah. Kami memutuskan membawa Egan pulang ke Singapura. Sebelum terlaksana, shinshe mendatangi kami di hotel. Tapi terlambat. Egan sudah amat kritis. Baru beberapa menit shinshe mengurut tubuh buah hatiku, mendadak berhenti. Lalu sinshe memeriksa telinga Egan. Setelah itu ia memberi tanda jempol terbalik. Sinshe menyerah dan memeluk suamiku.
Saat itu napas Egan masih ada. Kami bergerak cepat memanggil ambulans lalu melarikannya ke Singapura. Dua jam menempuh perjalanan, tatapan mata Egan sudah tak fokus. Aku memuji Tuhan sambil memegang tangannya. Kulihat mulutnya komat kamit. Lalu sebutir airmata menetes dari sudut mata kanannya. Aku pun mendapati senyum kecil di bibirnya. Setelah itu, Egan menghembuskan napas terakhir. Waktu menunjukkan jam 18.38 saat pengagum Erwin Gutawa itu pergi tanpa memberi pesan kepadaku.
Noverita K Waldan