Sejak Sari mendapat pekerjaan di pabrik perangkai kabel mobil, ekonomi keluarga mulai membaik. Penghasilan Sari, selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri, juga untuk membantu semua kebutuhan rumah. "Sari berulangkali mengatakan, kelak saya tidak boleh bekerja lagi, semua keperluan saya, dia yang akan mencukupi. Dia bilang tidak tega melihat saya yang dari dari dulu bekerja banting tulang," cerita Suyatni. Oleh karena pertimbangan ingin membahagiakan dirinya itulah, sampai akhir hayatnya Sari mengaku belum berniat memiliki pacar.
Ia tak henti-hentinya mengecam kebengisan AW yang tega menghabisi nyawa anaknya yang tak berdosa. "Kalau memang menginginkan barang anak saya, silakan ambil, tapi mengapa masih juga dibunuh?" Padahal, lanjut Suyatni, perilaku Sari sangat baik kepada siapa saja. Selain taat beribadah, dia sangat santun. "Karena itulah, waktu dia meninggal, teman-teman SMP sampai SMK semua datang. Mereka ikut bersedih dan tak menyangka Sari akan meninggal dengan cara seperti itu," papar Suyatni dengan berlinang air mata.
Setelah kepergian Sari, Suyatni memutuskan kembali ke kampung halamannya di Lamongan dan tinggal menumpang di rumah anak atau keluarganya. Rumahnya yang sederhana miliknya yang ada di Semarang akan segera dijual. "Kalau tetap di Semarang, saya justru akan semakin tersiksa karena bayang-bayang Sari tak akan pernah hilang," kata Suyatni dengan tatapan menerawang.
Henry Ismono, Gandhi Wasono