Kisah Batik & Perempuan Korban Konflik

By nova.id, Jumat, 5 Maret 2010 | 11:09 WIB
Kisah Batik Perempuan Korban Konflik (nova.id)

Kisah Batik Perempuan Korban Konflik (nova.id)

"Motif Batik Aceh yang beragam menarik minat wisatawan dari jakarta (Foto: Rini Sulistyati) "

Demam batik mulai melanda Aceh. Sejak 2006 lalu, Aceh memiliki batik dengan motif khas Aceh yang diproduksi Rumoh Batek Aceh, Desa Tanjong, Aceh Besar di kompleks Gedung Sentra Kerajinan Batek Aceh. Di gedung ini, puluhan perempuan korban konflik dan tsunami bekerja sebagai pembatik kain sutera dengan motif khas Aceh. Sementara, kaum lelakinya mengerjakan proses pasca batik seperti pencelupan dan pelorotan lilin. Bila gedung ini telah diserahterimakan kepada pemerintahan Nagroe Aceh Darussalam (NAD), "Akan kami pergunakan sebagai salah satu showroom," jelas Ketua Harian Dekranasda Provinsi NAD, Dewi Mutia.

Rumoh Batek Aceh adalah workshop binaan Dekranas Aceh. Batik Aceh, lanjut Dewi, ingin disejajarkan dengan kerajinan bordir Aceh yang sudah populer lebih dulu. Di Rumoh Batek Aceh, terpampang puluhan lembar kain batik Aceh yang semua motifnya diambil dari ragam hias budaya setempat yang sudah amat populer. Misalnya, Pinto Aceh, Awan Berarak khas Aceh Gayo, Rencong, Awan Sieun Pale Maeputa/ tali berputar, dan Rumoh Aceh. Sementara, yang dijual di show room Dekranas NAD masih terbatas lembaran kain bakal baju, bakal hem, selendang dan kerudung.

Awal mula dihidupkannya batik Aceh, kata Meri, salah satu staf Dekranas yang ditemui terpisah, bermula dari usaha Ny.Darlisa Abubakar, istri Mustafa Abubakar PJS Gubernur Aceh. (Waktu itu menggantikan kedudukan Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang tengah tersangkut kasus korupsi. Red.) Pasca tsunami, di awal tahun 2005, Darliza punya ide membuat pelatihan batik tradisional Aceh yang belum pernah diproduksi di Aceh. Ia lalu mengajukan proposal pada BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Aceh-Nias. Usulan diterima. "Peserta pelatihan ada 30 orang berasal dari empat kabupaten di Aceh. Mereka ini sebagian remaja putus sekolah korban konflik RI-GAM masa lalu. Instrukturnya dari Cirebon, Bandung, dan Pekalongan. Peserta pelatihan itu sekarng menjadi karyawan Rumoh Batek Aceh."

Pelatihan diteruskan dengan acara penggalian aneka motif-motif khas Aceh yang sudah dikenal maupun belum dikenal masyarakat setempat. Tahun 2006, lanjut Meri, mulai dengan produk percobaan. "Hasil kainnya bagus. Waktu dipamerkan habis dibeli orang."

Bila dilihat, batik Aceh berani bersaing dengan batik asal Jawa. Karena batik Aceh diproduksi di atas kain sutera tenun ATBM asal Garut, Makasar dan Pekalongan, serta kain katun. "Kami hanya membuat kain batik eksklusif. Jadi, enggak ada yang sama. Harganya mulai Rp 250 ribu sampai Rp 3 juta."

Karena sifatnya yang eksklusif maka Rumoh Batek baru mampu memproduksi batik tulis dan cap sebanyak 100 potong per bulan. Setiap potong kain sepanjang 3 meter. "Di Aceh rata-rata orang mengenakan busana muslim. Jadi kainnya panjang," terang Meri.

Yang menggembirakan, kesadaran para pejabat berikut keluarga dan sebagian warga masyarakat untuk mengenakan batik pada momen-momen tertentu, turut mengembangkan kerajinan yang mampu membuka peluang kerja dan usaha ini."Kami bangga batik Aceh pernah dipersembahkan kepada keluarga Presiden SBY."

Gandhi M. Wasono, Rini Sulistyati, Sita Dewi