Entah apa jadinya bila orangtuaku memanjakanku waktuku kecil. Pasti hasilnya tak akan seperti saat ini. Sejak kelas 2 SD, aku sudah dibiasakan membantu orangtua di toko kelontong milik mereka di Jl. Jend. Sudirman, Bandung.
Bahkan, saat aku kelas 6 SD, tak jarang mereka meninggalkanku sendirian menjaga toko. Mulai dari kulakan, melayani pembeli, hingga tutup toko, sudah bisa kulakukan sendiri. Pengalaman semasa kecil sangat besar pengaruhnya untuk membentuk jiwa kewirausahaanku.
Kebiasaan membantu orangtua di toko kelontong bertahan hingga SMA. Sejak saat itu, aku terbiasa mencari uang tambahan. Bukannya uang saku yang diberikan orangtua tak cukup, tapi bila ingin bermain, artinya aku harus mencari uang sendiri karena yang orangtua beri hanya cukup untuk jajan.
Aku ingat betul, waktu SD, uang jajanku hanya Rp 20, padahal mi yang enak harganya Rp 25 . Akhirnya, aku hanya bisa membeli mi biasa yang harganya Rp 10. Ha ha ha.
Bila diingat-ingat, memang berat juga harus membantu orangtua sejak kecil demi mendapatkan uang. Tapi, bila dipikir-pikir lagi, aku bersyukur orangtuaku tak seperti kebanyakan orangtua yang memanjakan anaknya, yang rela memberi modal usaha yang besar karena tak ingin anaknya mengalami kesusahan. Toh, aku masih tetap bisa bermain dengan teman-teman di lingkungan tempat kami tinggal dan menikmati masa kecilku.
Uang Kuliah Dari Ayam
Namanya juga berbisnis, kadang untung, tapi tak jarang juga penghasilan pas-pasan. Aku sering merasa tak tenang jika membayangkan orangtuaku dapat penghasilan yang tak pasti setiap bulannya.
Akhirnya, aku berhasil mendorong mereka agar bekerja di bank swasta, hingga kini. Toko kelontong milik kami, aku yang mengurus.
Di masa SMA, aku sering berjualan agar dapat uang tambahan. Entah jualan kaus, roti bagelen, atau apa saja. Hasilnya kutabung untuk mengumpulkan modal usaha hingga akhirnya berhasil memulai usaha ternak ayam.
Usaha ternak ayam yang kurintis lumayan menghasilkan. Apalagi, pesaing di bidang ternak ayam potong kala itu masih jarang. Dari sekitar 3.000 ekor ayam, aku bisa menghasilkan uang cukup besar, Rp 400 - 500 ribu sebulan. Jumlah yang cukup besar di tahun 1980-an. Bahkan, cukup untuk membiayai keinginanku kuliah di Singapura.
Dengan modal dari berternak ayam, aku minta restu orangtua melanjutkan studi ke Singapura. Peternakan ayam kuserahkan ke orangtua, uangnya mereka kirim untuk biaya hidupku di negeri orang. Jadi, mereka tak perlu pusing membayar uang kuliahku. Orangtua tak bisa lagi melarang keinginanku untuk kuliah di Stanford College, Singapura, karena biaya sudah kusediakan dan mereka tinggal mengirim saja.
Sita Dewi/bersambung