Setelah berada di luar, kulihat gedung kantorku yang berlantai tiga itu rata dengan tanah. Gedung sebelahnya yang berlantai enam, juga runtuh. Banyak orang berkerumun dan bertangisan. Mendadak aku ingat timku. Aku mencari-cari mereka. Hanya Azizah asal Nigeria yang belum kutemukan. Maka, ketika bosku hendak mengevakuasi kami, aku menolak. Aku berkeras hati tak mau dievakuasi bila Azizah belum ditemukan.
Oleh karena aku ngotot, akhirnya orang-orang mencari Azizah. Dua jam kemudian Azizah ditemukan selamat dalam kondisi sebagian tubuhnya terluka. Dia terjebak dan terjepit di kamar mandi. Kami pun dievakuasi ke lapangan parkir yang berjarak 400 meter dari gedung yang runtuh.
Haiti mendadak kisruh. Tak ada air bersih, komunikasi lumpuh. Aku tak memiliki apa-apa lagi. Tas emergency-ku terkubur di reruntuhan gedung. Aku tak bisa menghubungi Mas Yogi yang posisinya di log base, begitu pun sebaliknya.
Kami bertahan di pos masing-masing. Beruntung kantor kami di log base tak ikut terguncang gempa. Demikian pula apartemenku, hanya retak meski tak boleh lagi ditinggali. Tetapi paling tidak, barang-barangku masih terselamatkan.
Teken Kontrak Lagi
Oleh karena tak punya paspor, tiket, dan uang, kepulanganku ke Indonesia tertunda. UN tak mau membelikan tiket bila aku tak memegang paspor. Jadilah aku harus menunggu paspor baru.
Dalam kondisi tak bisa menghubungi orangtua di Makassar, aku tetap berharap akan ada pertolongan. Rupanya Tanti, kakakku yang tinggal di Jakarta, bergerak cepat. Dia minta tolong teman-temannya agar mencariku. Tanti pula yang menghubungi Dirjen Perlindungan Warga Negara Indonesia di luar negeri, Teguh Wardoyo, untuk memberitahu, ada dua orang warga negara Indonesia di Haiti.
Akhirnya teman Tanti yang bekerja di United Nation Mission Liberia bisa berkomunikasi denganku. Orangtuaku pun menyambut gembira kabar keselamatanku. Sayangnya, aku tak bisa langsung pulang karena harus mengurus visa dan menunggu paspor baru.
Tiga hari pascagempa, tugas kami campur-aduk. Tak lagi urusan administrasi, tapi menyelamatkan nyawa. Siapa tahu masih ada yang hidup. Kami berkoordinasi dengan pihak-pihak rescue. Tercatat 91 rekan kami staf PBB, tewas. Itu belum termasuk Kepala Misi, Mr. Heidi Anabi dan Deputi Mr. Louis.
Akhirnya, Sabtu (13/2), aku bisa pulang ke Tanah Air meski tak bisa langsung ke Makassar. Setiba di Jakarta, aku kehilangan suara dan diharuskan berobat di Eka Hospital, Bekasi. Beruntung kini aku sudah bisa berkumpul dengan keluarga tercinta di Makassar. Aku ingin benar-benar menikmati masa cutiku selama sebulan.
Setelah itu? Aku ingin kembali ke Haiti. Bahkan sudah teken kontrak untuk 6 bulan lagi dengan UN. Aku bertekad menuntaskan misi perdamaian!
Rini Sulistyati