Baru saja akan berangkat ke bandara, tiba-tiba bosku datang mengajak rapat. Akhirnya aku urung ikut ke bandara. Sore itu, aku bersama Sofie yang asal Perancis, mengikuti pertemuan dengan Haitian National Police di log base kami, sekitar 15 Km dari kantorku. Usai itu, kami kembali ke kantorku.
Pukul 16.45 waktu setempat, aku bersiap kabur agar tak ketinggalan bus yang akan membawa pulang ke apartemen. Baru mau beranjak, teman di lantai atas menelepon agar aku menunggunya. Sambil menanti, aku browsing di komputer.
Tiba-tiba guncangan hebat terjadi. Sadar itu adalah gempa, aku berlari keluar. Kebetulan ruanganku berada dekat pintu keluar. Tapi, karena saat gempa bersamaan dengan jam pulang kantor, banyak orang berlari dan berebut keluar. Akhirnya, pintu keluar tersumbat. Lantaran tak bisa maju atau mundur lagi, akhirnya aku jongkok di lantai.
Hanya sekian detik berselang, sebuah tiang rubuh dengan posisi melintang, tepat di depanku. Disusul atap gedung runtuh. Rupanya tiang yang melintang itulah yang membuat atap gedung tak langsung menimpa tubuhku. Aku takut. Semua orang takut. Suara orang menjerit-jerit terus terdengar.
Sementara itu, guncangan gempa berlangsung sekitar 1 menit. Setelah berhenti, suasana gelap gulita. Aku mencoba menenangkan diri. Lamat-lamat kulihat ada yang bergerak. Aku yakin dia temanku. "Are you there?" seruku pada teman polisi itu. Ternyata betul. Dalam kegelapan, dia masih punya semangat mencari-cari jalan keluar. Aku ikut di belakangnya. Ia mengais, menyisihkan puing reruntuhan gedung. Jalan yang kami lalui benar-benar sempit.
Kira-kira dua puluh menit kemudian, kami bisa keluar dari reruntuhan. Itu pun berkat pertolongan teman-teman yang selamat dan sudah berhasil keluar gedung.
Rini Sulistyati/bersambung