"Pelatihannya sangat murah, hanya Rp 75 ribu sampai bisa. Ini supaya orang mau belajar membatik, dan batik tidak punah. Oh ya, kami buka setiap hari," ujar Larasati setengah berpromosi. Ia berkisah, mulanya ia sendiri bukanlah berasal dari keluarga pembatik. Ayahnya, dulu seorang pamong praja di Pekalongan. Namun, sejak muda Larasati sudah memakai dan mencintai batik. Itu sebabnya, ia prihatin saat gempa memorak-porandakan Imogiri tahun 2006 silam.
Khawatir pengetahuan batik yang dimiliki para perajin di sana hilang, sejak hari pertama gempa Larasati sudah mengumpulkan mereka, menyediakan tempat dan peralatan agar mereka mau membatik lagi. "Mereka dibayar, disediakan makan siang, sehingga tetap mendapat penghasilan dan batik tidak punah. Sebab, beberapa dari mereka ada yang jadi pemulung. Sayang kalau ilmunya tidak dimanfaatkan," ujar perempuan yang pernah meraih KEHATI Award ini.
Hasuna Daylailatu, Noverita K. Waldan