Pen Ketinggalan, Burhan Kesakitan & Lapor Polisi (2)

By nova.id, Senin, 8 Februari 2010 | 05:54 WIB
Pen Ketinggalan Burhan Kesakitan Lapor Polisi 2 (nova.id)

Pen Ketinggalan Burhan Kesakitan Lapor Polisi 2 (nova.id)

"Burhan dan istrinya, Nanda sepakat melaporkan rumah sakit ke Poldasu (Foto: Debbi) "

Berbekal bukti foto rontgen, Burhan kembali menemui OS. "Dokter itu terlihat gelagapan. Dia seperti ragu-ragu menyampaikannya. Anehnya, dia seperti tak pernah melakukan kesalahan dan malah bilang enggak ada masalah. Aneh, masak ada benda yang masih bersarang di tubuh suami saya, dia bilang tak bermasalah?" ujar Nanda penuh tanda tanya.

Burhan pun yakin, pen yang tertinggal itu merupakan kecerobohan dan kelalaian OS. "Saat itu kami sempat komplain ke dia, kenapa pen bisa patah? Artinya, kan, kerja dokter asal-asalan. Namun, meski dikomplain seperti itu, malah kami yang dapat penjelasan tak mengenakkan. Dia malah marah-marah. Katanya, jika dipaksa untuk operasi lagi, dikhawatirkan akan memperburuk kondisi kesehatan saya," aku Burhan yang terpaksa harus bolak-balik Lhokseumawe-Medan.

Tak puas dengan jawaban OS, Burhan berkonsultasi dengan dokter di Jakarta yang dulu pernah memasang pen ke tubuhnya. "Katanya, saya harus menunggu enam bulan sebab tulangnya banyak yang rusak. Jadi, harus istirahat dan sehat dulu, baru bisa dioperasi lagi," ungkap Burhan yang ingin masalah ini diselesaikan secara damai. "Tak usah ribut-ribut. Waktu sia-sia terbuang dan kami semua sama-sama sibuk," ujar Burhan yang sudah menghabiskan biaya ratusan juta rupiah untuk penyakitnya itu.

Burhan dan Nanda ingin agar pihak RS Gleni International yang berdomisili di Jl. Listrik, Medan, itu memfasilitasi upaya perdamaian. "Maunya saya, mereka merujuk saya ke RS lain untuk mencabut pen yang masih tertinggal dengan biaya dari RS Gleni." Sayangnya, timpal Nanda, "Sampai hari ini tak ada itikad baik dari mereka. Kami bukan memeras, kok. Kami hanya minta tangung jawab pihak RS. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya," kata Nanda yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil ini.

Karena kondisi kesehatannya yang kian memburuk, beban keluarga yang selama ini berada di pundak Burhan pun beralih ke Nanda. Apalagi, sejak tak bisa beraktivitas normal lagi, kehidupan keluarga Burhan serba sulit. Kebetulan, belum lama ini Burhan mengambil program pensiun dini dari PT Arun, tempatnya bekerja. Alhasil, tinggal Nanda yang bekerja. "Tapi saya ikhlas, kok, menjalani semua ini. Apalagi kalau ada jalan keluar yang diberikan pihak RS untuk suami saya," kata Nanda dengan mimik sedih.

Ia terus terpikir akan nasib suaminya kelak. Ancaman keselamatan nyawa Burhan pun membayangi. Nanda takut, jika suaminya harus menjalani operasi kembali, sesuatu yang buruk bisa menimpa. "Makanya, dengan penderitaan suami saya, seharusnya pihak RS membayar penderitaannya."

Belakangan, pasangan ini mengadukan nasib mereka ke YLKI Medan dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara. " Jalan kekeluargaan sudah kami coba, bahkan somasi telah kami layangkan, tapi tetap tak ada tanggapan apa pun dari mereka. Makanya, sekarang kami serahkan saja pada proses hukum. Apalagi, tampaknya tak ada itikad baik sama sekali dari pihak RS."

Benarkah RS Gleni International lepas tangan? Dewi Harlina, Humas RS, berujar, sudah menampung keluhan dari pasien. "Sudah kami diskusikan dengan dokter yang bersangkutan dan pengacaranya. Pada dasarnya, kami juga ingin mencari solusi yang terbaik. Kami juga sudah memfasilitasi pasien dan dokter yang menanganinya."

Meski begitu, sampai saat ini masih ada hal-hal yang masih dibicarakan sehingga belum ada kesepakatan apa pun antara pasien dan dokter. "Mengenai somasi, kami belum menerima. Soal RS ini dilaporkan ke polisi, kami juga belum dapat info. Justru kami tahu dari wartawan."

Kata Dewi, pada prinsipnya IDI (Ikatan Dokter Indonesia, Red.) lah yang akan menentukan apakah kasus Burhan malapraktik atau tidak. "Kode etik kedokteran akan bisa menjelaskan semua persoalan ini."

Debbi Safinaz