Gus Dur Di Mata Yenny (2)

By nova.id, Selasa, 12 Januari 2010 | 05:25 WIB
Gus Dur Di Mata Yenny 2 (nova.id)

Gus Dur Di Mata Yenny 2 (nova.id)

"Yenny Wahid dan Dhohir Farisi, suaminya (Foto: Gandhi) "

Di mataku, Bapak adalah sosok yang adil dan tidak mau membeda-bedakan antar satu orang dengan yang lain. Tidak peduli apa jabatannya, kalau datang ke rumah semua harus antri jika ingin menemui Bapak. Perlakuan itu tak hanya berlaku pada orang lain saja tapi, tapi juga pada anak-anaknya.

Dulu, sewaktu aku masih jadi wartawan media terbitan Australia, aku pernah mendapat tugas mewawancarai Bapak. Aku tidak bisa serta merta bisa menemui Bapak di ruangannya di kantor PBNU, tapi harus tetap antri bersama para tamu lainnya. Bahkan pimpinanku di Australia kuminta mengirim surat permohonan wawancara yang kemudian aku sodorkan kepada Bapak. Bapak tidak suka kalau aku mendapat mudah hanya karena aku anaknya.

Soal kebebasan menentukan pilihan juga diterapkan kepada anak-anaknya dalam setiap hal. Bapak tidak pernah melarang anak-anaknya, sepanjang apa yang dilakukan itu diyakini benar. Termasuk ketika kami harus menentukan jurusan di perguruan tinggi. Dulu, ketika tamat SMA, aku ingin sekali masuk seni rupa ITB. Aku pun berjuang ekstra keras. Meski sudah ngotot, akhirnya tidak aku berhasil juga. Di tengah rasa kecewa, aku menangis mengadu ke Bapak. Tapi Bapak justru menguatkan hatiku, supaya aku tetap sabar, dan tidak boleh putus asa. Aku pun akhirnya mendaftar dan diterima di Psikologi UI.

Tapi Bapak tahu kalau sebenarnya aku kurang sreg di Psikologi. Beberapa bulan kemudian, Bapak justru memberi solusi agar aku meninggalkan UI dan pindah ke Seni Rupa Trisakti. Padahal waktu itu, sebagian besar orangtua justru gembira jika anaknya diterima di PTN apalagi UI. Menurut Bapak, tidak masalah kuliah di swasta sepanjang anaknya menyukai bidang itu.

Berbicara soal kuliah aku punya momen yang amat istimewa yang tak terlupakan. Ceritanya, ketika aku mendapatkan beasiswa kuliah S-2 jurusan ilmu pemerintahan di Harvard University di Amerika. Setelah berhasil lulus ujian S-2, aku harus berjuang keras lagi, untuk ikut lomba pidato di kampus. Aku ikut semata-mata ingin membuat kejuatan pada Bapak dan Ibu. Karena, yang menjadi juara akan mewakili para lulusan untuk berpidato ketika wisuda tiba. Kegigihanku tak sia-sia. Setelah melalui seleksi, panitia menyatakan aku keluar sebagai juara.

Saat yang dinanti pun tiba, waktu wisuda aku tampil di depan ribuan undangan termasuk Bapak dan Ibu untuk berpidato. Yang membuat surprise lagi, isi pidatoku sengaja aku ambil dari ajaran-ajaran yang selama ini ditanamkan Bapak. Saat itu pihak undangan maupun universitas juga baru tahu kalau aku adalah putri Gus Dur. Aku sempat ditegur oleh pihak perguruan tinggi, karena tidak pernah menginformasikan kalau aku adalah putri Gus Dur. Karena di Amerika, meski sudah mantan presiden tapi tetap saja panggilannya adalah Mr. President. Jadi saat itu agak sedikit heboh begitu Bapak datang. Jujur peristiwa itu merupakan momen terindah yang pernah aku persembahkan buat Bapak dan Ibu yang tak mungkin terlupakan. Bapak juga sendiri juga merasa surprise, terlihat bahagia sekali dengan apa yang aku lakukan itu.

Bapak sangatlah mendukung apa saja yang dilakukan anak-anaknya, termasuk hal-hal yang kecil. Kalau hari-hari tertentu, aku mencoba belajar memasak. Aku mencoba belajar dari resep-resep di majalah. Tapi, lagi-lagi karena kurang pandai, tetap saja masakan olahanku tidak ada lezat-lezatnya, berbeda dengan adik bungsuku Innayah yang memang jago masak. Tapi, karena suka melihat kreatifitasku, Bapak tetap saja menghabiskan masakanku. Bahkan, terkadang kalau ditanya, bagaimana rasa masakanku, Bapak dengan guyon, mengatakan, "Rasa masakan Yenny, masya Allah..," katanya yang langsung disambut tawa keluarga.Gandhi Wasono M/ bersambung