Karena tak berhasil itulah, ia kemudian melamar sendiri ke hotel-hotel dan diterima di Hotel Sheraton, sebagai pengupas buah untuk salad. "Karena training, sama sekali tidak dibayar. Tapi diam-siam saya curi ilmu dari senior-senior tentang cara membuat salad, ukir buah, bikin saus, dan lainnya. Kalau pas tidak ada senior, diam-diam semangka saya ukir sendiri dan kalau tidak berhasil segera saya hancurkan di tempat sampah supaya tidak ketahuan," ceritanya sambil tertawa.
Lama-lama, seniornya mengendus kemampuan Iman sehingga ia dipercaya meramu salad untuk hidangan di hotel. Setelah itu, ia diajari menata hidangan, menghias, termasuk membuat berbagai ukiran buah dan es. "Bagi saya, tak digaji enggak masalah. Yang penting, saya bisa mencuri ilmunya," kata Imam yang kala itu hidup serba prihatin. "Untuk berangkat kerja saja, harus berjalan berkilo-kilo," tuturnya.
Keringat DinginMerasa sudah menguasai ilmu, ia mulai berpromosi dengan menyebar kartu nama. Imam pun menerima jasa mendesain dekorasi pelaminan, sunatan, acara kantor, sampai menghias seserahan. "Pokoknya, apa saja sepanjang berkaitan dengan berbagai seni penataan, saya terima."
Rupanya itulah cikal-bakal sukses Imam. Buktinya, ia kemudian diterima sebagai kitchen art di salah satu katering terbesar di Jatim. Di perusahaan itu, Imam dijadikan anak emas oleh sang pemilik. Dialah salah satu andalan jika perusahaan itu menerima pesanan katering yang memerlukan hiasan mewah. "Meski senang, saya kecewa karena gaji saya lebih kecil dibanding teman-teman yang kemampuannya ada di bawah saya. Di situ cuma tahan 10 bulan. Tapi saya tak menyesal karena banyak dapat ilmu tentang dunia katering dan masak-memasak."
Imam sempat luntang-lantung selama setahun dan bekerja sebagai juru masak di rumah makan di Surabaya. Kendati demikian, dunia seni tata panggung maupun tata masakan tetap ia jalani sampai kemudian rezeki datang menghampiri. Imam diminta mengelola sebuah perusahaan katering di Surabaya yang membawahi 43 karyawan. "Lucu sekali. Waktu pertama kali memimpin rapat di depan puluhan anak buah, saya sengaja pakai kaus berlapis-lapis supaya enggak kelihatan kalau terus-terusan keluar keringat dingin," ujarnya sambil tertawa.
Di tempat baru itu, ia harus banting-tulang demi kemajuan perusahaan. Ia harus mengawasi kualitas masakan di dapur sampai memasarkan produk ke sana-sini. Pengalaman-pengalaman itulah yang menempanya menjadi seperti sekarang ini.
Naksir Sang KasirMeski menikmati pekerjaan barunya, ada yang mengganjal di hati Imam. "Suasana kerjanya kurang nyaman karena pemilik perusahaan dan karyawan masih terikat hubungan keluarga. Saya jadi enggak bisa leluasa mengatur perusahaan. Malah saya dimusuhi banyak orang karena sebagai pimpinan, hanya saya sendiri yang orang luar, sementara semua masih ada hubungan kerabat," papar Imam yang akhirnya memutuskan keluar.
Toh, ia sama sekali tak melupakan perusahaan itu begitu saja. Soalnya, di situ hati Imam tertambat pada Diana Ely Rosidah (26), Diana bekerja sebagai kasir dan masih kerabat pemilik perusahaan. "Saya terpikat dia karena orangnya sederhana. Waktu mau memperistri Diana, saya salat istikharah terus, minta petunjuk Allah."
Keluar dari perusahaan itu, Imam lalu minta pertimbangan Diana tentang kelanjutan pekerjaannya. Ia memberi dua pilihan pada calon istrinya: membuka usaha sendiri dengan harapan berhasil tapi dengan konsekuensi harus jatuh-bangun atau ikut kerja dengan orang lain yang tanpa risiko tapi penghasilannya pas-pasan.
"Diana ternyata memilih lebih baik saya usaha sendiri. Tak masalah meski kelak harus jatuh-bangun."
GANDHI WASONO M.Foto-Foto: Gandhi Wasono M/NOVAEdisi Depan: Ternyata Diana benar. Tak salah pula Imam memilihnya sebagai istri. Usaha katering yang dirintis pasangan muda ini berkembang pesat. Puncaknya, tahun 2007, ia dipercaya PT. Lapindo memberi konsumsi ribuan pengungsi di Pasar Porong yang menghasilkan keuntungan miliaran rupiah. Imam pun bisa tidur di atas gepokan uang!