Panggilan jiwa. Begitu para relawan menyebut alasan kenapa mau bersusah payah mendampingi para penderita HIV/AIDS, kanker, maupun lupus. Banyak manfaat yang mereka petik. Antara lain, jadi lebih pandai menghargai waktu, karena, "Kita enggak pernah tahu, kapan kita mati." Rini, Debbi, Sita
Mantan pengidap kanker payudara ini sadar betul, pasien kanker membutuhkan perhatian lebih. Terutama yang sudah paliatif alias kemungkinan sembuhnya sangat kecil.
Sebulan setelah menjalani operasi (Maret 2003) Yuni bersama kawan-kawannya mendirikan Cancer Information and Support Center (CISC). "Niatnya hanya sekadar ajang berkumpul. Saat kumpul dengan teman senasib, kan, hati jadi tenang dan bisa berbagi informasi, " kata penulis buku I Have Cancer, It Doesn't Have Me ini.
Tak terhitung banyaknya jumlah anggota CISC. Seluruh anggota (entah pengidap kanker atau bukan), otomatis jadi relawan paliatif bagi siapa pun yang memerlukan. Mereka lebih mirip sebagai sahabat dibanding tugas suster. "Jadi, tak harus mendampingi. Bisa lewat SMS, telepon, juga e-mail."
Relawan yang akan jadi partner bagi pasien pun, tak bisa sembarangan. Harus ada kedekatan emosional dan lokasi. Walau begitu, idealnya pasien yang paliatif, selain didampingi relawan juga dikawal psikolog dan rohaniawan.
Selama aktif di CISC sebagai pendiri dan relawan, Yuni merasakan banyak sekali tantangan. Salah satunya untuk menghadapi berita kematian teman-teman dekat yang juga tergabung di CISC. "Biasanya, setiap minggu ada saja kabar duka." Tantangan lainnya, "Karena kebanyakan dokter di Indonesia 'tidak tega' menyampaikan kabar mengenai kanker yang sudah mencapai tahap paliatif pada pasien, biasanya dokter akan menyampaikan ke keluarga pasien. Jadi susah karena tak semua pasien siap menghadapi kenyataan waktunya mungkin tak lama lagi. Tapi tak jarang juga ada pasien yang lebih memilih untuk tahu agar dia bisa mempersiapkan diri."
Kedekatan CISC dengan banyak dokter spesialis kanker, juga membuat banyak permintaan relawan dari berbagai rumah sakit. "Pernah ada dokter yang menghubungi kami untuk meminta relawan karena ada pasiennya yang stres dan punya tendensi bunuh diri," kisahnya.
Sebagai relawan yang pernah mengidap kanker dan memiliki jam terbang tinggi, Yuni berbagi kunci sukses menghadapi pasien paliatif, "Yang penting, tak usah banyak menasihati. Cukup ada di sampingnya, mendengarkan keluhannya, tunjukan empati, dan tidak menguliahi,"
Untuk membantu pasien kanker, Yuni bersama CISC juga mendirikan Rumah Singgah Kanker CISC untuk pasien kanker dari luar kota yang harus melakukan pengobatan di Jakarta. Pasien yang menginap hanya ditarik uang Rp 5 ribu per malam. Secara rutin pula Yuni mengadakan pertemuan. "Setiap sebulan, dua kali berkumpul. Kadang jalan-jalan ke mal. Agendanya pun macam-macam, terutama saling berbagi informasi terbaru seputar kanker."(Bersambung)