Ketika Ani Berdansa Dengan Kanker (1)

By nova.id, Senin, 2 November 2009 | 05:53 WIB
Ketika Ani Berdansa Dengan Kanker 1 (nova.id)

Ketika Ani Berdansa Dengan Kanker 1 (nova.id)
Ketika Ani Berdansa Dengan Kanker 1 (nova.id)

"kemoterapi menjadi saat-saat yang begitu menyiksa. Tapi tetap harus aku jalani. "

Tujuh Dokter Tak SimpatikSungguh aku tak sanggup berpikir tenang. Bahkan, aku merasa dia dokter sial karena memvonis tanpa memeriksa intensif. Kucoba mencari dokter lain. Saat diperiksa dokter ketiga ini, aku disarankan melakukan serangkaian tes. Salah satunya lewat USG. Dengan cemas kutanya, "Dok, apakah benjolannya berbahaya?"

Sayang si dokter tidak memberikan jawaban yang simpatik. "Harus segera dioperasi. Tidak boleh berlama-lama. Paling lama tiga minggu. Kalau kanker sudah menyebar ke seluruh tubuh, artinya tidak ada harapan lagi."

Aku yang panik, menanyakan sederet pertanyaan yang intinya ingin mengetahui lebih detail penyakitku. Tapi dokter tidak memberi jawaban yang memuaskan. "Baru bisa dijawab setelah operasi," jawabnya tanpa basa-basi.

Ungkapan dan penjelasannya membuatku tidak simpati padanya. Sebenarnya, aku perlu dokter yang sanggup meredam ketakutanku. Wajar, aku, kan, awam soal kanker. Di keluargaku, tidak ada yang menderita kanker. Aku hanya membayangkan, kanker penyakit yang mematikan. Aku cemas, takut, bingung. Semua bercampur jadi satu. Dengan rasa marah, kuambil semua hasil lab yang tergeletak di meja dokter lalu kutinggalkan si dokter. Sempat kulontarkan ungkapan kejengkelanku padanya, "Kalau umur saya memang enggak panjang, akan saya cari sendiri kain kafan saya."

Begitulah, sampai tujuah kali aku memeriksakan diri ke dokter berlainan. Aku ingin meredam semua kekalutanku. Tak satu pun dokter yang bisa memberi informasi seperti yang kubutuhkan, Kejengkelanku membuatku tidak kembali lagi ke dokter. Untuk melupakan penyakitku, aku kembali beraktivitas sebagai pengacara di lembaga yang kudirikan.(Bersambung)

Henry Ismono